TRAGEDI DALAM BUS
Penulis: Wawan
Setiawan
Bunyi Klakson Avanza itu membangunkan kedua
bola mataku yang hampir redup. Perjalananku ke ibu kota dari jalur
Solo–Jakarta, terserang macet. Entah apa yang terjadi, bisa jadi karena
kecelakaan atau demo massa. Itu pula yang membuat kendaraan saling membunyikan
klakson, tak lain agar mereka bisa melejit dan lari dari kemacetan itu. Itulah
alasan bus yang kutumpangi ini bergerak sangat lambat, tersendat–sendat. Supir
bus sudah terkantuk–kantuk dan terus menenggak kopi dalam botolnya. Beberapa
penumpang mulai kepanasan dan mengipasi wajah mereka dengan telapak tangan.
Sebaliknya, bapak berkumis lebat yang duduk di sebelahku malah asyik merajut
pulau tak berpenghuni, alias tidur. Mulutnya menganga lebar menyerupai beruang
madu. Membuatku tak berkutik karena posisi dudukku di dekat jendela. Lengkaplah
sudah ketidaknyamanan ini. Tidak tahu berapa jam lagi aku bisa ke kampung
halaman. Tak sabar untuk menyalami emak dan bertemu Karjo, Kang Rosyid, serta
bunga hatiku, Astri.
Untunglah kemudian bus bisa melaju. Dengan lincah
supir memainkankan setir mobil, gayanya sudah mirip seperti Rio Haryanto,
pembalap muda Indonesia. Angin pun bersemilir keluar dari lubang kaca jendela.
Membersihkan keringat yang sudah melumuti leher dan pergelangan tanganku. Kini
suasana bus sudah mulai terdengar ramai akibat obrolan, tawa, ataupun nyanyian
para penumpang. Namun lain ceritanya dengan ibu berkerudung yang duduk di sisi
kanan kursiku. Dia terlihat kewalahan menenangkan bayi mungilnya yang terus
menangis. Suara tangisannya cukup memecah gendang telinga, keras sekali.
Seorang ibu berkacamata yang duduk tepat di depannya sangat terganggu sekali
dengan suara itu. Terlihat dari urat–urat wajahnya yang menumpuk rasa kesal.
“Bu, tolonglah, diamkan anakmu itu. Aku paling benci
mendengar suara tangisan seperti itu. Kasihlah sesuatu supaya dia diam!” kata
ibu berkacamata.
“Sudah coba aku diamkan, Bu, tapi tangisannya tetap
tidak mau berhenti juga. Kalau ibu merasa terganggu, pindahlah ke kursi depan
atau belakang yang masih kosong,” ucap ibu berkerudung tak mau kalah.
“Kau ini malah mengusirku? Keterlaluan!” gertak ibu
berkacamata. Sorot matanya merah.
Datanglah seorang pria bertopi yang duduk di bangku
belakang. Tampaknya dia ingin melerai. “Maaf, bukan aku ikut campur. Mendengar
kalian berseteru tadi, cukup mengganggu para penumpang lain. Ada baiknya semua
bisa diselesaikan dengan baik–baik. Masalah kecil toh jangan dibesar–besarkan.
Lihatlah, bayi-nya pun sudah berhenti menangis,” ujar pria bertopi itu.
Ibu berkacamata yang tadi lama berdiri lekas duduk
kembali. Ibu berkerudung bisa bernafas lega dan berterimakasih pada pria yang
baru saja menolongnya itu. Aneh, memang aneh mereka. Hanya karena tangisan bayi
mereka ribut. Tapi tahukah kalian apa yang terlihat jauh lebih aneh dari itu?
Dialah pria yang duduk di sebelahku. Dia masih tertidur dalam posisi yang sama.
Membuatku tersudut dan memiliki sedikit ruang gerak. Dia benar–benar memblokir
pintu keluar. Niatku untuk pindah ke kursi lain punsangat impossible.
Tibalah waktunya kenek bus yang berambut gondrong itu
untuk menarik iuran penumpang. Tampilannya seperti preman dengan tato kepala
tengkorak di lengan kirinya. Mungkin si supir sengaja menempatkannya sebagai
kenek. Tak lain biar penumpang tidak bisa lari dari tanggung jawabnya untuk
membayar iuran bus. Yang biasa dilakukan para penumpang penyelundup yang licik.
Kini si kenek itu tengah berhadapan dengan ibu
berkacamata yang tadi sempat berseteru dengan ibu berkerudung yang duduk di
belakangnya itu.
“Ongkos, Bu!” Pinta kenek itu.
“Sebentar,” Ibu itu kemudian mengaduk–aduk isi tasnya.
Lama sekali. Wajahnya mulai membias rasa cemas. Dia coba dan coba lagi
mengaduk–aduk isi tasnya, bahkan menumpahkan segala isi tas itu pada bantalan
kursi yang masih kosong di sebelahnya.
“Mungkin di plastik hitam itu, Bu!” ujar kenek sambil
menunjukkan bingkisan plastik hitam yang ada di sudut kaki ibu tersebut. Ibu
itu menurut kemudian meraihnya. Bisa kutebak kalau hati ibu tersebut kacau dan
meledak–ledak karena takut.
“Bagaimana?” tanya kenek.
“Tidak ada. Dompetku hilang!” pekik ibu itu.
“Jadi?”
“Aku tidak tahu kemana. Kupikir tersimpan di tas ini.
Tapi nyatanya hilang.”
“Rupanya ada yang mau turun di sini.”
“Kau gila! Ini masih jauh dari Jakarta. Mau apa aku di
sini? Tolonglah... biarkan aku sampai di Jakarta, ya?” pinta ibu itu sambil
tersedu–sedu. Tapi kenek itu sama sekali tidak peduli dengan kondisi ibu
tersebut. Baginya Cuma ada ‘bayar’ atau ‘turun’. Cukup dua kata itu.
“Bang... ada yang mau turun di sini!” Teriak si kenek
pada supir bus. Ibu berkacamata tersebut sudah kerap ketakutan setengah mati.
Wajahnya pun pucat seperti telur rebus.
“Tunggu!” Suara itu tiba–tiba muncul. Tak lain lagi
dari ibu berkerudung yang duduk di belakangnya.
“Kenapa, Bu?” tanya kenek.
“Biar aku saja yang bayar,” ucap ibu berkerudung itu.
Ibu berkacamata yang tadi dirundung rasa takut, pelan–pelan tenang. Dengan malu
dia menyalami dan berterima kasih kepada malaikat penolongnya. Syurkurlah, itu
membuat mereka akur!
“Mas ongkosnya?” Kenek itu sekarang beralih ke arahku.
Aku pun merogoh uang yang sudah kusiapkan di saku depan kemejaku. Tanpa
kesulitan seperti ibu berkacamata tadi.
“Terima kasih,” ujar kenek itu.
“Pak, ongkosnya?” Kenek itu sekarang berbicara pada
pria berkumis lebat yang tidur itu.
“Pak, ongkos!” Ujar kenek itu lagi. Cukup lama kenek
itu berbicara. Tak ada sedikitpun respon dari pria berkumis itu. Dia tetap
tertidur dengan mulutnya yang menganga lebar. “Mas bisa bantu bangunkan dia?”
tanya kenek itu padaku.
“Entahlah, Bang, aku sendiri bingung bagaimana cara
membangunkannya,”kataku.
“Wah, bisa rugi kalau begini!” gumam kenek kesal.
Kenek berusaha menepuk pundak pria berkumis itu. Tetap
dia tak bereaksi. Kemudian di goyang–goyangkan badannya tetap saja. Aku pun tak
bisa diam saja melihat kenek yang sudah kewalahan dan hampir habis kesabarannya
itu. Aku bantu untuk menepuk pundak pria itu dari sisi kiri dan kenek dari sisi
kanannya. Aku dorong dan terus mendorong pelan pria berkumis itu.
“Pak, ongkosnya!” Kenek bahkan berbicara dekat sekali
dengan indra pendengaran pria itu. Tetap tak membuahkan hasil. Wajah si kenek
sudah merah seperti udang rebus. Dia terlihat sangat jengkel rupanya. Aku pun
terus dan terus berusaha membangunkan dengan mendorong dia, sampai akhirnya
lepas kendali. Brukkk... Pria berkumis itu jatuh tersungkur ke bawah. Kini
semua perhatian penumpang tertuju padanya.
“Apa yang terjadi...?”
“Kenapa dia...?”
Semua membicarakannya. Si kenek cukup terperangah dan
segera berusaha untuk mendudukkannya kembali. Tapi dia cukup kesulitan karena
badan pria berkumis itu jauh lebih besar.
“Ayo, Bang... biar aku bantu mengangkatnya!” seruku.
Baru saja aku lingkarkan pergelangan tangannya ke
pundakku. Ibu berkerudung berkata padaku, “Sepertinya dia tidak sehat,
hati–hati, Mas!”
“Ataukah jangan–jangan dia...,” kali ini ibu berkacamata
angkat suara.
“Dia kenapa?” tanyaku.
“Mati!!!” mendengar kata itu aku langsung bergetar.
Pergelangan tangan yang tadi melingkar di bahuku kontan aku lepas. Kalau dia
mati berarti dia mayat. Dan aku duduk bersebelahan dengan mayat! Oh, tidak! Aku
menelan ludah.
Seorang pria betopi kemudian muncul. Dia hendak
memastikan keadaan mayat itu. “Aneh, denyut jantungnya sulit dideteksi!”
ujarnya.
“Kau yakin?” kataku.
“Dia mati!”
Bukan hanya aku yang terkejut, tapi seluruh penumpang
bus itu. Ibu berkerudung dan berkacamata itu bergegas pindah mencari kursi
kosong di belakang. Pria bertopi dan kenek sedikit bergeser menjauh dari mayat
itu. Sementara aku masih di sampingnya. Melihatnya terbujur kaku di dalam bus.
Baru setelah itu, aku melihat sesuatu dalam genggaman jemarinya. Obat. Dia
menggenggam obat yang dibungkus rapi dalam plastik putih.
“Inikah miliknya?” kataku parau.
“Kalau begini kasunya, tidak salah lagi, dia mati
karena obat itu!” ujar pria bertopi.
“Bagaimana kau tahu itu?” tanyaku setengah membentak.
“Itu obat berdosis tinggi!”
“Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan pada mayat
ini?” kataku gugup.
“Yang jelas aku tidak mau berurusan dengan mayat.
Ujung–ujungnya pasti kantor polisi!” seru pria bertopi. Tak kusangka kata–kata
itu akan keluar dari mulutnya. Kupikir dia itu orang baik–baik. Ternyata
perkiraanku salah.
“Ya aku juga,” lanjut si kenek.
“Ya... aku juga,” penumpang lain ikut menimpali.
Ada apa dengan mereka? Ini di luar dugaan. Semua
penumpang seakan sedikit pun tak ingin terlibat. Apakah mereka lupa kewajiban
kita untuk mengurus orang mati dengan baik?!
“Tidakkah kita lebih baik membawanya ke rumah sakit?
Untuk diotopsi, kemudian kita hubungi pihak keluarganya,” kilahku.
“Iya, betul! Kau sajalah yang bawa!” pekik si kenek.
Ya, Tuhan... Mereka sudah benar--benar keterlaluan.
Mereka sudah kehilangan akal dan hati nurani mereka!
“Bagaimana, kau setuju membawanya sendiri?” tanya
kenek gondrong itu lagi padaku.
“Tentunya kita semua. Tak mungkin aku sendirian
membawanya,” jelasku.
Bus yang tadi melaju mendadak berhenti. Supir bus
rupanya terusik dengan keributan yang terjadi. Dia pun turun dari kursinya dan
menghampiri kami yang tengah berseteru.
“Ribut-ribut apa ini, heh?!” tanya si supir.
“Lihatlah, Bang!” Kenek menunjukkan mayat yang tadi
terhalang olehnya.
“Astaga, mayat? Di bus-ku ada mayat! Gila!” ketus
supir bus.
“Bukankah lebih baik kita membawanya ke rumah sakit,
Bang?” tanyaku. Berharap dia akan sejalan denganku.
“Segala sesuatu yang terjadi dalam bus adalah tanggung
jawabku sebagai supir. Kecelakaan, pencurian, apalagi kematian penumpang. Pasti
polisi akan menangkap dan meminta aku bertanggung jawab atas kejadian ini. Kau
tahu itu?!”
Sejurus suasana bus hening. Semua masih memandang
miris melihat nasib mayat malang itu.
“Sekarang begini saja...,” ucap si supir bus. Aku
berharap dia akan berkata untuk memberikan solusi.
“Kita akan ambil suara. Siapa di antara kalian yang
bersedia mengurus dan membawa mayat ini keluar dari bus-ku?” lanjut si supir
bus. Aku langsung mengacungkan tangan. Tapi... penumpang lain tidak. Cuma aku
seorang. Semua tidak merespon, itu berarti mereka memilih untuk tidak mengurus
mayat itu. Ada apa ini?
“Cuma kau seorang. Kau sanggup?” tanya supir bus
padaku. Aku diam seribu kata. Aku bingung apa yang harus aku katakan. Mereka
semua jahat. Otak mereka harus dicuci. Mereka terlalu takut. Mereka pengecut!
“Sepertinya dia tidak sanggup, Bang!” tkas si kenek
bus.
“Bagus, jadi semua penumpang satu suara,” kata supir
mantap.
“Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya
pria bertopi pada supir bus.
“Kita lupakan mayat ini. Anggaplah kita sama sekali
tidak pernah melihatnya. Pokoknya lupakanlah!” tutur si supir.
Aku bertanya–tanya dalam hati, bagaimana caranya?
Tentulah sulit! Dia bukan bangkai binatang, dia manusia seperti kita. Punya
keluarga dan kerabat yang mungkin tengah menunggunya.
“Bagaimana caranya itu?” lirih pria bertopi, akhirnya.
“Kita buang mayat ini!” tegas supir bus.
“Oh, Tuhan... sadarkan mereka, mereka benar–benar
gila!” kataku dalam hati.
“Kemana, Bang?”
“Jurang itu!” Supir seraya menunjuk ke arah luar
jendela. Memang tepat sekali, bus ini berhenti tepat di ruas–ruas jalan yang
dekat dengan jurang yang curam.
“Ayo... tunggu apa lagi?!”
Tak kusangka. Mereka benar–benar melakukannya. Kulihat
sendiri bagaimana si supir, kenek, dan pria bertopi itu mengangkat kemudian
membuangnya seperti bangkai binatang. Mereka juga membuang semua barang bawaan
pria berkumis itu tanpa terkecuali. Anehnya, mereka kembali dengan tersenyum
lega. Mereka pikir baru saja melakukan hal yang benar.
Bus pun kembali melaju. Tanpa tahu apa yang terjadi di
dalamnya. Semua penumpang membisu dan benar–benar berakting seperti apa yang
disarankan supir bus tadi. Pokoknya, lupakanlah!
Aku kembali duduk. Tanpa seorang pria yang tadi
kupikir terlelap tidur. Sendiri. Bagaimanapun aku masih teringat keberadaannya.
Bayang–bayang mata, hidung, dan mulutnya. Tapi aku tidak mau dihantui terus
olehnya. Aku akan berusaha seperti penumpang lainnya. Pura–pura tidak tahu!
Belum sampai lima menit, aku teringat lagi. Bahkan kutemukan sesuatu yang
terselip di kursiyang tadi dia duduki. Sebuah kartu nama. Barulah aku tahu
identitas pria malang itu.
Namanya Narto Subandi, tinggal di Jakarta. Satu tujuan
denganku. Terbersit pikiran untuk pergi ke alamat itu. Ya, aku harus ke sana.
***
Dengan tekad yang tidak menentu, aku pergi ke alamat
itu. Biarlah kutunda dulu rasa rinduku yang amat sangat pada emak dan keluarga.
Demi bertemu keluarga dan kerabat Pak Narto. Berharap aku akan bertemu dengan
orang yang memang tidak menginginkan keberadaannya atau dia bukan lah orang
baik–baik. Setidaknya itu bisa sedikit mengobati rasa bersalahku.
Tidak sulit bagiku untuk menemukan kediamannya.
Alamatnya cukup jelas tercantum di kartu nama itu. Rumahnya sederhana dan
rindang karena pohon jambu monyet yang berada di sudut rumah, mencerminkan
pribadi seseorang yang begitu merawat kebersihan. Perlahan aku masuk melewati
pagar dan mengetuk pintu.
“Selamat siang?” tak lama menunggu, muncul seorang
wanita yang membukakan pintu.
“Siang, cari siapa, ya?” tanya wanita itu.
“Ini benar rumahnya Bapak Narto?”
“Benar, aku istrinya.”
Oh.... hatiku mulai ciut. Aku tengah berhadapan dengan
istrinya.
“Ini siapa, ya?” tanya lagi wanita itu.
“Imam,” kataku bohong.
“Anda cari Mas Narto... maaf dia sedang keluar kota.”
Bukan, kau salah! Dia keluar dari jasadnya... dia
meninggal...
“Oh... tapi boleh aku masuk?” Aku berusaha setenang
mungkin.
Wanita itu menyilakan aku masuk. Aku tahu kalau dia
sebetulnya menaruh curiga dengan kedatanganku yang mendadak ini.
“Ada urusan apa ya, Mas?”
“Cuma mau kasih ini. Ini pesanan buah Bapak Narto, dua
hari lalu. Tapi bapak belum mengambilnya atau pun menelpon,” kataku bohong
lagi.
Emak... maaf, buah tangan untukmu harus kuserahkan
pada orang lain. Terpaksa!
“Oh, jadi karena itu? Tpi kenapa ya, Mas Narto tidak
pernah menyinggung soal pesanan buah. Tapi terima kasih karena buahnya sudah
diantarkan sampai ke rumah.”
“Sama – sama, Bu. Apa ibu sudah pernah mencoba telpon
Pak Narto?” kataku mengada–ada, padahal kutahu pasti jawabannya.
“Itu dia, Mas, aku sudah coba telpon, tapi tidak
pernah diangkat.”
Tentulah,
Bu… selamanya dia tidak akan mengangkat telponmu.
“Aku cuma
khawatir terjadi sesuatu dengannya. Soalnya dia memang kurang sehat,” ujar
wanita itu.
“Memang dia sakit apa, Bu?”
Belum sampai dia menjawab, seorang anak kecil yang
kira–kira berumur 5 tahun, muncul. Anak kecil itu terlihat tidak sehat. Matanya
redup dan terlihat kurus sekali.
“Dimas sudah bangun? Pasti cari ibu, ya?” kata wanita
itu. Barulah aku tahu kalau anak kecil itu putranya.
Dan tentulah putra pria malang yang tergeletak di
jurang itu.
“Anak ibu sakit?” tanyaku ragu.
“Iya, Mas, dia sakit. Itulah alasan Mas Narto keluar
kota. Dia hendak menebus obat Dimas karena di Jakarta sulit dicari. Aku sudah
melarangnya tapi dia memaksa.”
Obat Dimas?! Jangan–jangan obat yang ada dalam
jemarinya itu... Itukah yang dimaksud? Jadi Pak Narto bukanlah mati karena obat
berdosis tinggi, tapi itu obat untuk putra tercintanya. Dimas!
“Lalu mengenai penyakit Pak Narto itu bagaimana, Bu?”
tanyaku pelan.
“Pak Narto mengidap Trypanosomiasis, itu
diagnosa dokter.”
“Aku baru dengar, pasti itu penyakit berat.”
“Sebetulnya tidak juga, Mas, itu dia idap sepulang
dari proyek kerjanya di Afrika, setahun lalu. Sejenis penyakit tidur!”
“Pe... nya... kit... ti... dur...?!” Aku terbata–bata.
“Selain gejalanya panas, dingin, dan demam, Mas Narto
sering tertidur seperti orang koma, bahkan seperti orang mati di siang hari.
Namun kesulitan tidur di malam hari.”
Aku sontak terkulai lemas mendengar pemaparan wanita
itu. Penyesalan dan rasa bersalah seakan berbaur jadi satu. Ternyata... Pak
Narto masih hidup! Yah ,masih hidup! Diagnosa pria bertopi itu salah besar.
Bukan orang mati yang kita buang, tapi orang hidup. Kepala terasa pening sekali
saat itu juga. Tanpa sadar aku pun pingsan di kediaman rumah Pak Narto.
Selesai.
***
Komentar
Posting Komentar