CERMIN


Ini sudah rokok ketiga yang aku hisap. Kumainkan asapnya membentuk bulatan kecil untuk memecah malam ini. Peluh seharian bekerja rasanya terbayar dengan menghisapnya. Bukan karena aku bodoh dan tidak tahu bahaya merokok. Tapi.. ini karena aku gagal menemukan hal lain yang mampu mengembalikan keceriaanku. Yah, tidak ada lagi. Bahkan istriku sendiri. Dia sudah berubah. Tidak lagi seperti dulu. Ah, perasaan ini kembali beradu padanya. Konflik batin ini kembali mencuat dan hanya menjadi emosi yang terpendam. Mataku memandang nanar langit malam. Hitam dan hening. Ingatanku pun kembali merekam masa lalu. Masa dimana hari – hariku penuh gairah dan kebahagiaan. Tuhan…  izinkan aku mengulang satu episode saja masa lalu itu.
Klik! Bunyi pesan dari whatsapp mengusik lamunanku. Itu dari teman kantorku, Rayan. Seperti  biasa, dia selalu mengingatkanku agar tidak datang terlambat meeting besok. Namun yang menarik perhatianku justru bukan isi pesan itu. Bola mataku lari ke foto profile yang sudah 3 bulan belum aku ganti di aplikasi ini. Foto ketika aku masih menyandang mahasiswa di sebuah universitas swasta di Jakarta. Aku terkekeh melihat fotoku sendiri. Aku memang banyak menarik perhatian wanita saat itu. Mungkin karena aku selalu menjaga penampilanku. Tubuhku yang berisi padat, kulit cokelat, dan lesung dikedua pipiku menjadi daya tarik mereka. Tak heran, 2 – 3 bulan aku berganti pacar dan bahkan salah satu dosen di kampus pun sempat melamarku waktu itu. Sampai akhirnya, ada dua orang wanita yang membuat perasaanku meleleh. Mereka adalah Friska dan Wulan. Mereka berdua dijuluki ratu kampus. Friska, wanita asal Manado yang memiliki magnet pada senyum dan kulit eksotis yang mampu menyihir setiap pria. Sedangkan Wulan, wanita keturunan Arab yang memiliki kulit putih dan mata yang indah. Lalu, munculah sebuah ide di kepalaku. Jari – jariku bermain. Aku iseng mencari kontak Friska di whatsapp. Diluar dugaan, kontaknya masih tersimpan disana. Kurang lebih butuh satu menit mengumpulkan niat untuk menghubunginya kembali.
“Malam, Friska!” Pesan whatsapp pertamaku untuknya.
Klik! Bunyi itu terdengar kembali selang 5 menit. “Malam… Apa kabar mas Roy.” Balas Friska.
Aku sempat tidak yakin kalau Friska langsung membalasnya. Ada sedikit rasa gugup yang merasuki perasaanku. Perasaan yang sudah lama tidak aku rasakan lagi.
“Belum tidur?” Balasku.
“Belum, Mas. Aku sedang menyiapkan PP buat presentasi besok dengan klien.” Tulis Friska dipesannya.
Hatiku kembali berdesir, Perasaanku terbang membumbung. Rasa dingin yang sempat kurasakan menjadi hangat seketika itu.
 Aku membalasnya lagi, “Sedang sibuk ya? Sorry kalau aku ganggu. Aku cuma mau nanyain kabar Friska.”
“Aku baik. Tidak masalah, Mas. Ini hampir selesai kok. Mas belum ngantuk?” Tulis Friska lagi. Aku semakin tergelitik membaca pesannya.
Belum sempat aku membalasnya lagi, istriku muncul tiba – tiba.
“Ayah sedang apa diluar?” Tanya istriku yang tak lain adalah Wulan. Aku terkejut dengan kehadirannya. Pelan – pelan kumasukan ponsel ke kantong celanaku tanpa membuatnya curiga.
“Ayah baru mau ke kamar.” Kataku datar.
Wulan pun masuk dan aku mengikutinya dari belakang.
“Aku mau melihat Raja.” Seruku.
“Dia sudah tidur di kamarnya sekarang. Sebaiknya ayah lekas tidur juga. Besok masuk pagi kan?” Katanya tanpa menoleh ke arahku.
Di kamar dia langsung membaringkan dan melapisi tubuhnya dengan selimut. Kulihat dia pelan – pelan menutup matanya dan tertidur. Sepertinya lelah sekali. Padahal tugasnya hanya mengurus Raja, anakku yang baru berusia 4 tahun. Itu jauh dari apa yang sudah aku lakukan sebagai laki – laki. Aku bekerja demi mereka. Ah, aku tidak mau pikiran ini berbuntut panjang lagi. Tubuhku lekas kubaringkan membelakangi Wulan. Entah kenapa saat ini aku sedang tidak ingin menatapnya. Wajahnya yang dulu sempat menghipnotisku karena kecantikannya telah pupus dimakan waktu. Tubuh tinggi semampai kini hanya berisi gumpalan lemak. Kulit putih halusnya sudah menjadi kasar dan menghitam. Aku menelan ludah dan merasa pening setiap memikirkan itu.
***
“Kamu menghubungi Friska? Gila kamu!” Ungkap Rayan. Kami sedang menyantap makan siang di kantin kantor dan aku menceritakan soal Friska kepadanya.
“Pelankan suaramu, bodoh!” Seruku.
“Gimana kalau istrimu tahu, heh?!”
“Tidak mungkin. Aku akan berhati – hati!”
“Lalu apa rencanamu sekarang?” Tanya Rayan penasaran.
“Besok aku akan mengajaknya makan malam.”
“Makan malam? Dengan Wulan dan Raja maksudmu?”
“Tidak mungkin. Hanya kami berdua saja.”
“Aku hanya mengingatkan sebagai teman kalau apa yang kamu lakukan ini akan meretakkan rumah tangga yang sudah kamu bangun.”
“Aku tahu itu, Yan. Aku hanya mencari kesenangan dan pelipur kebosanan rumah tanggaku.”
Rayan berhenti bicara. Sepertinya dia tidak bisa berkata – kata dan mendebatku lagi.
“Tolong rahasiakan ini ya dari siapapun. Terutama Wulan.” Seruku pelan.
Butuh waktu lama Rayan menjawabnya. “Aku tidak pernah setuju kamu mengkhianati istrimu. Tapi, aku pun tidak mau ikut campur lebih dalam.” Katanya kemudian.
Aku menepuk pundaknya. Rayan adalah teman terbaikku sejak kuliah. Dia tahu baik siapa aku. Dia pun mengenal baik Friska dan Wulan karena kami memang dekat dulu.
***
“Besok ya? Baiklah aku bisa kok. Aku juga sudah lama tidak berbincang – bincang dengan Mas Roy.” Ucap Friska dalam telfon.
See you tomorrow!” Kataku. Klik! Friska pun memutus telfonnya.
Dia menerima undangan makan malamku besok. Hatiku kembali terbang dibuatnya. Terlebih ketika dia bilang kalau dia masih single. Ruangan kerja yang dingin berubah hangat seketika itu. Tampaknya dia memberikan sinyal positif terhadapku. Kuharap perasaannya pun tidak berubah.
Tok tok tok! Suara pintu diketuk dari luar ruangan kerjaku. Kupikir itu pasti Wulan.
“Masuk!” Seruku.
Wulan masuk seperti dugaanku. Wajahnya tampak berkeringat dan menumpuk rasa kesal.
“Raja menangis?” Tanyaku. Aku mendengar suara tangisan.
“Ayah besok temani Raja nonton bioskop sepulang kerja ya. Dia terus merengek minta nonton kartun yang tayang di iklan. Bunda tidak bisa, akhir – akhir sering pusing.”
Tenggorokanku kering. Besok aku sudah buat janji dengan Friska, tidak mungkin aku membatalkannya.
“Kamu ini bagaimana, suami pulang kerja langsung disuruh mengasuh anak.” Kataku geram. Seketika Wulan membisu.
“Mengurus anakkan tugas kita berdua, bukan cuma istri. Kalau Ayah tidak mau ya sudah. Memangnya Ayah sudah ada janji lain?” Kata Wulan dengan nada suara lebih tinggi dari sebelumnya.
“Kamu tidak usah mendikte kegiatanku. Aku kerja banting tulang untuk kamu dan Raja. Kamu sajalah yang antar Raja besok!” Kataku membentak.
 Wulan tertunduk lemas mendengar ucapanku. Butiran air kecil tumpah di sudut matanya. Lantas dia pergi tanpa berkata – kata. Dan aku tidak peduli.
***
Sepulang kerja hari ini aku tidak langsung ke rumah. Aku sudah reservasi satu meja utama di restauran yang cukup bergengsi di ibukota. Rayan sempat mengingatkan agar aku menelpon Wulan. Dia memang temanku yang bisa diandalkan dalam segala hal. Aku hanya mengirim pesan ke Wulan agar tidak menungguku.
Di telpon Friska berjanji akan tiba pukul 19.00, tapi aku datang setengah jam lebih awal. Beberapa hidangan sudah aku pesan. Salah satu diantaranya adalah masakan kesukaan Friska yang masih aku ingat dengan baik. Aku memilih meja dekat dengan jendela agar bisa menangkap view lampu gedung – gedung ibukota yang serupa bintang. Ditambah lagi dengan rayuan alunan musik klasik yang melantun. Ini akan menjadi malam yang sempurna, pikirku!
Aku melihat seorang wanita berpakain gaun hitam cantik di dekat pintu. Dia tampak mencari seseoranh. Rambutnya dibiarkan terurai dengan kedua anting putih perak tergantung di kedua telinganya. Tubuhnya putih terawat. Langsing dan seksi. Aku yakin sekali itu Friska. Aku segera berdiri dan melambaikan kedua tanganku. Aku sempat gugup karena ini pertemuan pertamaku setelah kurang lebih 10 tahun kita tidak bertemu.
“Friska… aku disini.” Panggilku. Friska menoleh. Wajahnya tampak terkejut melihatku dari jauh, lalu dia mendekat.
“Mas Roy?” Serunya sambil menunjukku.
“Iya. Aku Roy. Silahkan duduk.”
“Maaf aku terlambat.” Ujarnya. Dia terlihat malu.
“Tidak. Aku memang sengaja datang lebih awal.” Kataku.
Pelayan kemudian datang dan menghidangkan beberapa makanan yang aku pesan.
“Kamu suka restaurant ini?”
“Suka.”
“Aku memesan makanan kesukaan kamu.”
“Makasih.” Ucapnya singkat.
“Kamu sakit? Kok sepertinya tidak bergairah.” Selidikku.
No, I’m fine. Gimana kabar Wulan?” Tanya Friska. Aku tahu kalau dia mencoba mengalihkan pertanyaanku.
“Jangan bicarakan Wulan. Kita kan sedang dinner sekarang.” Kataku sedikit menggoda.
“Loh kenapa Mas? Wulan kan istri Mas Roy. Mas lupa ya kalau dulu Mas lebih memilih Wulan daripada aku.” Friska balik menggoda.
“Kamu masih mengungkit soal itu?”
“Tidak. Aku hanya…”
“Maaf kalau aku tidak memilih kamu waktu itu. Aku siap ceraikan Wulan sekarang dan menikahi kamu.” Potongku.
Friska sempat terbatuk mendengar ucapanku.
“Bercerai? Mas ini sudah gila ya! Mas salah besar kalau berpikir aku masih melihat Mas seperti dulu.”
“Beri aku kesempatan, Friska! Aku akan memperbaiki kesalahanku. Pernikahanku dengan Wulan tidak membuat aku bahagia. Dia sudah berubah. Dia tidak istimewa dan hangat seperti dulu lagi.”
“Maksud Mas Roy?”
“Ya.. Wulan tidak seperti kamu sekarang.”
“Maksud Mas Roy… Wulan sudah tidak cantik lagi?”
Aku hanya membalasnya dengan mengangguk pelan meskipun ragu.
 Friska kemudian terkekeh. Dia lalu kembali berbicara. “Lalu Mas Roy mau menikahi aku sekarang karena aku cantik? Setelah aku menikah dan berubah kemudian Mas ceraikan aku juga seperti Wulan? Heh!” Seru Friska setengah membentak.
“Bukan begitu maksudku…”
“Mas punya cermin di rumah?”
Aku terdiam. Mulutku terasa kering. Aku tidak mengerti apa yang dia katakan.
“Aku kasihan melihat Wulan. Dan aku beruntung karena Mas tidak memilihku waktu itu.” Tegas Friska dengan sorot matanya yang tajam. Dia lantas berdiri dan meraih tasnya. Dia bahkan tidak memakan hidangan mahal yang sudah aku pesan.
“Tolong lihat cermin, Mas!” Itu kalimat terakhir yang Friska katakan sebelum dia pergi meninggalkanku.
***
Aku pulang dengan pikiran kosong. Malam ini tampak lebih sunyi dari biasanya. Hanya terdengar tetesan air ledeng dari kamar mandi yang serupa bunyi drum. Kulihat Raja sudah tidur, begitupun Wulan. Lalu aku melangkah ke dapur, aku tertegun melihat makanan yang dihidangkan Wulan di meja makan yang tampak dingin. Nasi, sayur bayam, dan bandeng presto. Semuanya adalah makanan kesukaanku. Kuhitung berapa kali aku mengabaikan masakannya namun dia tetap hidangkan di meja itu. Dadaku mulai terasa sesak. Lantas aku menuju ke ruang tamu, sebuah foto besar terpajang disana. Foto pernikahan aku dan Wulan. Gaun putih yang dia kenakan membuatnya tampak cantik sekali. Aku masih tersipu melihat foto itu. Dan tepat dibawah foto itu adalah foto anakku, Raja, ketika usianya masih 1 tahun. Senyumnya mirip sekali dengan Wulan, tapi banyak yang bilang kalau matanya persis sepertiku.
Aku kemudian teringat perkataan Friska soal cermin. Aku lari ke kamar, tempat dimana aku bisa menemukan cermin. Aku terperangah melihat diriku sendiri. Aku… ternyata bukan Roy yang dulu lagi. Bukan lagi Roy penakluk hati banyak wanita. Rambutku tidak selebat dulu, bahkan ada beberapa uban yang tumbuh disisi kepalaku. Kedua lesungku tenggelam karena pipiku membesar. Kulitku sekarang tidak sekencang dulu. Dan yang paling mengerikan adalah perutku sekarang telah membuncit besar. Aku tertunduk. Aku malu pada diriku sendiri. Selama ini aku sibuk melihat kekurangan Wulan tapi aku lupa melihat kekuranganku sendiri. Hatiku bergetar. Aku menoleh ke belakang dan melihat Wulan tertidur pulas. Aku menyusulnya dan kupeluk dia.
“I love you, honey…” Bisikku.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman CPNS Dosen 2024: Titik Akhir, Awal Baru

KEUNIKAN YANG SAYA TEMUKAN DI INGGRIS

PENGALAMAN DAN TIPS UNTUK IELTS