CITA CITA YUDA


                Ini adalah simple story, kisah seseorang yang berusaha meraih cita – citanya. Sangat simple, bukan? Sebut saja Yuda, siswa teladan SMA 1 Tunas Bangsa yang dikenal oleh teman – temannya sebagai introvert boy dan kuku perpus (kutu buku perpustakaan). Intovert dan kutu buku adalah dua istilah yang biasanya saling berkaitan. Sifatnya sangat pendiam untuk ukuran seorang laki – laki, terlebih dengan perawakan kurus dan kulit putih karena jarang bermain dibawah terik matahari terkesan cowok feminim. Jangan tanya siapa temannya, dia tidak punya teman. Sekalipun ada, hanya anak perempuan yang mau mendekatinya. Sering teman laki – lakinya mengolok – olok dia, “Yud, tunjukan kejantananmu!”. Tapi semua olokan itu tidak pernah di dengarnya.
            Seperti hari ini, usai pelajaran fisika semua anak berlari berhamburan keluar kelas. Ada yang pergi ke kantin, ke koperasi, atau ke lapangan. Cuma ada beberapa orang di kelas salah satunya Yuda. Feri, teman Yuda masuk ke kelas, “Yud, ayo keluar. Kamu cewek sendiri tuh di kelas?” Ejek Feri sambil terkekeh. Yuda tidak menghiraukannya. Dia sedang mengerjakan tugas yang di berikan Bu Reni. Baginya belajar adalah prioritas utama, terlebih menjelang Ujian Nasional yang tinggal menghitung hari.
            “Main bola yuk!” Ujar Feri lagi.
            “Aku sibuk.”
            “Alah, sok sibuk kamu.”
            Bukan hal aneh kalau temannya bilang seperti itu. Dan bukan hanya hari ini dia diejek teman – temannya. Yuda cuma bisa tersenyum dan menyembunyikan perasaan sakit hatinya. Yuda paham dan tidak menyalahkan mereka. Mereka berhak mengucilkannya. Toh di lain sisi, dia banyak mendapat pujian dari guru. Bukan Yuda kalau tidak menang dalam setiap perlombaan akademik. Sederet piala dia borong tiap tahun dan mengharumkan sekolahnya. Itu sekelumit semangat baginya untuk terus belajar. Belajar untuk apa? Belajar untuk cita – citanya. Yah, cita – citanya begitu tinggi bahkan untuk dibayangkan. Tapi Yuda percaya pasti ada pintu masuk dan menerobos untuk meraih cita – cita tersebut. Tak peduli meskipun itu pintu terakhir. Disitulah, semangatnya membara. Dia belajar dengan giat dan tekun.
            Yuda berdiri dan membawa buku nya. Dia berjalan melewati Feri yang sejak tadi mengolok – oloknya. “Kalau masih mau berbicara denganku, temui aku di perpus ya.” Ujar Yuda. Feri mendengus kesal tapi dia sadar kalau Yuda bukanlah orang yang pantas untuk di ajak berkelahi. Dia pun membiarkan Yuda lewat begitu saja.
            Perpustakaan seolah menjadi tempat persembunyian Yuda. Dia membaca dan menghabiskan waktunya disana. Tidak seperti teman – temannya yang hanya berkunjung kalau saja ada tugas. Semua buku yang dia baca adalah ulasan soal Ujian Nasional yang akan tiba dalam beberapa hari lagi. Baginya itu bukan hal yang harus di takuti.
***
            Akhirnya Ujian Nasional telah berlangsung. Yuda sedikt bisa bernafas lega, tapi tetap tidak menghentikan semangatnya belajar. Selepas sholat magrib Yuda mengambil buku – buku pelajaran di tasnya. Matanya kembali menerawang lembar demi lembar buku yang dia baca. Dari luar pintu, ibunya melihat dengan heran.
            “Kamu sedang belajar Yud?”
            “Iya bu.”
            Ibunya semakin bingung, menurutnya Ujian Nasional telah berlangsung seminggu yang lalu dan seharusnya Yuda sedikit bisa melepaskan rutinitasnya dari belajar.
            “Bukannya kamu sudah melewati Ujian Nasional? Kamu tidak PD ya dengan hasilnya?” Rutuk ibunya.
            “Bukan seperti itu Bu, Insya Allah aku lulus karena sudah berusaha sangat maksimal.”
            “Lalu sekarang kamu belajar untuk apa lagi, Nak?” Tanya ibu pelan.
            Yuda memahami maksud pertanyaan ibunya. “Ibu lupa ya dengan cerita Yuda dulu.”
            “Soal apa, Nak?”
            “Cita – cita Yuda?”
            Ibunya terenyuh. Yuda kembali bicara, “Justru sekarang lah Yuda harus belajar dengan giat Bu, Yuda harus bisa mendapatkan beasiswa PEMDA untuk kuliah di UPI.”
            Ibunya sesaat terdiam dan menatap wajah anaknya dengan hangat, “Ibu tidak bisa mencegah mu, Nak. Tapi ibu hanya ingin mengingatkan kalau Ibu dan Bapak tidak akan banyak membantu kamu soal... “
            “Aku tahu soal itu Bu!” Yuda memotong kalimat ibunya.
            “Aku yakin, meskipun bapak cuma seorang buruh tapi bukan alasan kalau aku akan bernasib sama dengan bapak.” Lanjut Yuda.
            Ibunya sadar kalau Yuda sangat ambisius dan optimis sekali, sebagai orang tua dia merasa tidak berhak untuk menghalanginya. “Ibu selalu mendoakan kamu yang terbaik, Nak.”
            Yuda tersenyum bahagia, itu seperti lampu hijau dan semangat baginya untuk meraih cita – citanya yang semakin dekat.
***
            Hari ini pengumuman hasil tes beasiswa PEMDA untuk ke UPI. Dengan perasaan berdebar – debar Yuda berangkat ke sekolah. Tentunya dengan iringan doa dari ibunya sebelum berangkat tadi, “Ibu doakan kamu berhasil, Nak!”
            Mading sekolah sudah ramai. Tandanya pengumuman sudah di tempel oleh guru. Yuda mempercepat langkahnya dan ikut berdesak – desakan dengan temannya. Matanya bergerak dengan hati – hati. Tak ingin melewatkan sebaris nama yang mungkin itu namanya. Nama – nama itu ternyata di susun berdasarkan alfabet. Yuda bergerak ke nama dengan inisal Y. Dan namanya pun TIDAK TERTULIS. Yuda mencoba melihatnya sekali lagi. Dari awal dia melihatnya, mungkin namanya terselip di alfabet lain. Percuma saja! Namanya tidak tertulis. Dia bergerak mundur dari kerumunan. Badan lemas seketika, pikirannya kacau. Dia teringat ibunya yang mungkin tengah menunggu kabar darinya. Mulutnya tercekat, ingin rasanya dia menangis disitu.
            “Yuda!”
            Yuda mendelik. Itu Lintang, temannya di kelas. “Sabar ya Yud, aku ikut sedih. Masih ada kesempatan lain kan? Beasiswa bukan cuma disini.”
            Andai Yuda bisa membalas ucapannnya mungkin dia akan bilang, “Itu bagimu! Kamu anak pengusaha, tidak pusing – pusing mengemis dari beasiswa untuk kuliah. Bagaimana dengan ku?”
            “Makasih.”
            “Jadi bagaimana rencanamu setelah ini, Yud?” Tanya Lintang lagi.
            “Belum ada.”
            Yuda pun pergi dengan langkah yang sangat berat. Sungguh ini di luar dugannya. Ini adalah hari yang betul – betul membuatnya hampir mati. Dilihatnya Feri di koridor sekolah. Dia bersama orang tuanya. Terbayang di pikiran Yuda kalau saja dia terlahir sebagai Feri, tanpa susah – susah belajar dengan keras atau cari beasiswa, orang tuanya mampu membayar berapa pun uang untuk kuliahnya. Atau menjadi si A, si B, dan si C. Pikiran Yuda melayang jauh. Seorang guru kemudian menghadang Yuda. Dia adalah Bu Hartati, wali kelasnya.
            “Ayo masuk ke ruangan ibu Yud. Ada yang ingin ibu bicarakan.”
             Yuda menurut dan akhirnya mengikuti langkah Bu Hartati.
            “Ibu tahu kamu pasti sangat sedih.”
            Yuda tidak merespon, dia tetap menundukan kepalanya.
            “Tapi ini bukan akhir dari segalanya Yud. Hidup belum kiamat dan masih berjalan.”          Kali ini Yuda mengangkat wajahnya. Dia memikirkan apa yang tadi dikatakan wali kelasnya.
            “Ibu benar, sekarang aku harus bagaimana?”
            “Kamu masih ingin tetap kuliah?”
            Pertanyaan itu sungguh mematahkan semangat Yuda.
            “Kamu adalah pilot dari hidupmu Yud.” Ujar lagi Bu Hartati.         
            Pilot dari hidupmu? Yuda betul – betul memaknai kata – kata itu. Lantas dimana Tuhan berada? Kenapa Tuhan tidak membiarkanku mendarat untuk mendapatkan beasiswa itu? Kenapa Tuhan justru membuat ku jatuh seperti ini? Aku bahkan tidak sanggup lagi menjadi pilot. Aku ingin menyerah.
            “Yud?” Bu Hartati menepis lamunan Yuda. “Kamu belum menjawab pertanyaan ibu, kamu masih ingin tetap kuliah?”
            Yuda menjawab, “Maaf Bu, aku tidak bisa menjawab nya sekarang. Mungkin kalau ibu tanyakan hal itu lain waktu aku bisa menjawab.”
            Bu Hartati sedikit bingung dengan jawaban Yuda. Yuda kemudian bersalaman dengan Bu Hartati lantas pergi.
***
Disaat seperti ini, hanya ibu yang bisa membuat Yuda lebih tenang. Ibu yang bisa membuat nya tersenyum dan belajar mengikhlaskan semuanya. Tidak mudah ibunya membujuk agar Yuda tetap optimis menjalani hidup. Sekarang apa yang harus Yuda lakukan kedepan? Tentu tidak berdiam diri di rumah. Sebagai anak pertama dari 4 bersaudara dia punya tanggung jawab. Kedua adiknya masih bersekolah. Mereka perlu biaya. Artinya dia perlu membantu keluarganya dari segi ekonomi. Kerja! Itulah prioritasnya Yuda sekarang.
Yuda sadar kalau dia bukanlah tipe laki – laki yang pantas bekerja berat seperti buruh angkut barang, kerja di bengkel, atau sejenisnya. Dengan kecerdasan lumayan dan penampilannya yang cukup menarik. Dia mengambil siasat untuk mencoba melamar pekerjaan sebagai pelayan restauran, sales, atau pramuniaga. Hari – hari nya saat itu dia sibukkan dengan membuat banyak surat lamaran kerja dan menarohnya di beberapa tempat. Syukurlah, Tuhan mengabulkan keinginannya untuk bekerja. Dia di terima sebagai pelayan restauran cepat saji yang cukup terkenal di kotanya. Dia sangat bahagia, begitu juga dengan ibunya. Dia orang yang bahagia dari awal sejak melihat Yuda sudah kembali bersemangat.
“Separoh gajiku, ku berikan untuk ibu nanti. Sisanya ada hak Adi, Rizki, dan Putri juga.” Ucap Yuda dengan girang pada ibu dan ketiga adiknya. Semuanya bahagia.
Sungguh waktu berlalu dengan cepat, sudah setahun Yuda bekerja di Restauran itu. Banyak teman baru yang di temuinya disana. Pengalaman dan tentunya ilmu baru. Yuda memang mampu belajar dengan cepat. Dia berusaha sebaik mungkin menjadi orang yang lebih ramah dan sosialis sekarang. Dia ingin membuang jauh – jauh julukan introvert yang dikatakan teman – temannya dulu di sekolah. Usahanya membuahkan hasil. Dia cukup disukai oleh bosnya karena kecakapan dan keuletannya. Dia tidak pernah datang terlambat dan bertanggung jawab. Sebagai pelayan toko tugas nya adalah melayani tamu bahkan untuk urusan mengepel lantai sekalipun. Sering di jumpainya beberapa teman sekelasnya ketika Yuda bekerja. Ada perasaan malu dan ingin menghindar. Tapi hal itu tidak mungkin. Dengan mengumpulkan semua keberaniannya. Yuda membiarkan teman – temannya tahu kalau dirinya yang dulu menjadi siswa teladan di sekolah sekarang menjadi pelayan restauran.
“Yuda? Kamu kerja disini? Kamu gak kuliah?” Pertanyaan itu sering dilontarkan teman – temannya. Yuda hanya tersenyum dan menjawab sekenanya saja. Dia tidak ingin membahas masa lalunya. Sekarang dia betul – betul ingin fokus di dunia kerjanya. Bagaimana dengan cita – citanya? Entahlah bahkan dia sudah lama tidak memikirkannya.
***
Suatu hari hal yang tidak terduga terjadi. “Yud, tolong kamu layani tamu yang disana?” Ujar Rohman, teman sekerjanya. Yuda menurut karena dia melihat Rohman sedang sibuk mengepel lantai.
“Selamat siang dan selamat datang di Restauran kami. Ini menunya.” Sapa Yuda kepada tamu tersebut kemudian menyodorkan menunya.
“Terimakasih.” Jawab tamu itu, dia menundukan wajahnya saat sedang memilih makanan apa yang akan dia pesan. Yuda merasa tamu itu tidak asing meskipun dia tidak bisa melihat wajahnya.
“Hah, Yuda?” Tamu itu terkejut dan langsung mengenali Yuda.
“Bu Hartati.” Yuda pun kaget, mukanya memerah.
Bu Hartati tersenyum, “Duduklah sebentar, ibu rindu sekali.”
Yuda pun menurut. Agak canggung dia berhadapan dengan Bu Hartati, padahal dulu dia sangat dekat dengannya.
“Sejak kapan kamu bekerja disini Yud?” Tanya Bu Hartati.
“Setelah mendapat ijazah aku langsung melamar kerja disini Bu.” Jawab Yuda.
“Baguslah, ibu senang mendengarnya. Kamu suka kerja disini?” Tanya Bu Hartati lagi.
“Suka tidak suka, aku harus belajar menyukainya Bu. Karena ini adalah pekerjaanku.”
“Kamu tidak berubah Yud, ibu bangga.”
“Terimakasih. Maaf Bu, aku harus kembali bekerja.”
Yuda pun segera mencatat pesanan Bu Hartati kemudian pergi. Ada perasaan malu, rindu, senang saat dia bertemu Bu Hartati. Mungkin karena dulu Bu Hartati melihatnya sebagai siswa teladan di sekolah dan sekarang dia melihatnya sebagai pelayan restauran. Tapi terlintas kenangan masa lalunya di sekolah saat melihat Bu Hartati. Dan satu hal lagi yang diingatnya. Cita – cita.
***
            Yuda menceritakan pertemuannya dengan Bu Hartati kepada ibunya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Ibunya paham bahwa ada perasaan rindu yang disembunyikan oleh anaknya ini. Hanya saja dia tidak mengakuinya.
            “Contohlah Bapak, selalu bangga meskipun menjadi buruh. Betul Pak?” Kata Ibu dan sedikit meledek suaminya yang sedang berbaring. Yuda hanya bisa tertawa.
            Yuda masuk ke kamar. Tak ada niat untuk belajar hanya saja dia membuka laci meja belajar yang sudah lama sekali tidak di bukanya. Masih ada tumpukan buku – buku pelajaran. Buku pelajaran yang dulu menyita waktunya dan sekarang hanya lembaran berdebu. Dia mengambil salah satu buku itu dan membacanya. Yuda kembali terhanyut, terhanyut dalam buku yang di bacanya. Rasa haus nya muncul saat melihat buku, dan sekarang dia mencoba menyingkirkan rasa dahaga itu. Dahaga dalam ilmu.
***
            Yuda sedang mengepel lantai dan restauran sebentar lagi tutup. Seorang ibu berlari -  lari kecil menghampiri. “Yuda...” Teriaknya. Yuda terkejut, ternyata itu Bu Hartati.
            “Ada apa Bu, Ibu baik – baik saja?”
            Bu Hartati mengatur nafasnya kemudian bicara, “Kamu bisa kuliah tahun ini Yud, asalkan kamu punya kemauan keras. Percaya sama Ibu!”
            Yuda masih tidak mengerti dengan ucapan Bu Hartati. Akhirnya Bu Hartati menggiring Yuda duduk.
            “Ibu punya kenalan, dia sekretaris PEMDA, dia akan mengusahakan kamu mendapat beasiswa kuliah.”
            Hati Yuda terenyuh. Dia mencubit pipinya meyakinkan kalau hal ini bukan mimpi.
            “Beasiswa kuliah?” Gumam Yuda.
            “Kamu tidak harus jawab sekarang Yud. Yang jelas ibu bisa usahakan kalau kamu bisa mendapat beasiswa kuliah meskipun tawaran kuliah kali ini bukan di Universitas besar.” Jelas Bu Hartati penuh antusias.
            Yuda terdiam.
            “Ibu tunggu jawaban kamu secepatnya Yud. Hubungi nomor ini segera ya?” Bu Hartati kemudian memberikan nomor ponselnya. Setelah pamitan dia pun pergi. Yuda sadar kalau dia pasti akan mengalami kesulitan bahkan untuk memikirkan keputusan apa yang akan dia ambil nanti. Yuda jadi teringat perkataan Bu Hartati dulu, “Kamu adalah pilot dari hidupmu.”
***
Yuda tahu kalau ibunya akan sama bingung ketika dia menceritakan tawaran Bu Hartati. Ibunya terdiam seolah memikirkan hal yang rumit.
“Bagaimana Bu?” Tanya Yuda kemudian.
“Ibu harus jawab sekarang?”
Dengan ragu Yuda mengangguk. Ibunya tersenyum dan mengelus kepala Yuda. “Anak ibu sudah sebesar ini. Sudah dewasa dan pandai. Ibu pikir kamu sudah bisa memutuskan sendiri, Nak.”
“Aku sudah sangat beruntung bisa bekerja. Aku bisa membantu keluarga meskipun itu hanya sedikit. Kuliah berarti aku tidak bisa melakukan itu lagi, Bu.”
“Setiap keputusan punya resiko masing -  masing, Nak.”
 “Jadi, maksud ibu?”
“Ibu akan ikuti apa keputusan anak ibu selama itu untuk kebaikannya.”
Yuda tidak habis pikir kalau ibu mampu berkata hal yang luar biasa seperti itu. Yuda semakin yakin kalau ibunya adalah orang yang paling bijaksana yang pernah di temuinya di dunia ini. Dia segalanya bagi Yuda. Yuda memeluk ibunya. Dan ini meninggalkan tanda tanya besar yang harus dia ubah menjadi sebuah titik keputusan. Keputusan untuk menerima tawaran Bu Hartati atau tidak.
***
            Beberapa tahun kemudian . . .
            “That’s all our lesson today, don’t forget to accomplish your homework. OK? See you next week!”
            Setelah pelajaran Bahasa Inggris berakhir siswa berhamburan keluar. Ada beberapa siswa yang mendekati gurunya untuk menanyakan kembali tugas yang belum bisa di pahaminya.
            “Pak, aku masih belum paham soal tugas PR-nya? Jadi kita harus membuat poster dengan topik bebas?”
            “Yah betul, topiknya bebas, kalimat posternya tidak boleh mengandung unsur SARA ya dan harus Berbahasa Inggris.”
            “Baik Pak.”
            “Pak Yuda!” Salah seorang guru menghampiri.
            “Eh, Bu Tantri, ada apa?”
            “Di panggil Ibu kepala sekolah”
            “Oh Iya Bu”
            Mereka pun kini berjalan beriringan menuju kantor.
            “Denger – denger Pak Yuda dapet Beasiswa S2 ke UPI ya?”
            “Iya Bu Alhamdulillah.”
            “Selamat ya Pak!”
            “Terimakasih.” Jawabnya tersenyum. Sungguh, ini adalah hal yang begitu luar biasa bagi Yuda. Yuda semakin paham ketika ditanya, “Apa itu cita – cita?”. Baginya, Cita – cita adalah hal yang harus kamu kejar dan kamu tunggu dengan sabar. Bukan menyerah pada nasib lantas kamu menyalahkan Tuhan yang tidak paham cita – citamu. Bukan hal yang mudah bagi Yuda dulu, menerima kenyataan bahwa dia tidak mendapatkan beasiswa ke UPI, tempat dimana dia menggantungkan cita – citanya. Bukan keputusan yang mudah ketika dia harus bekerja sebagai pelayan restauran dan merelakan segela impiannya. Yuda yakin kalau Tuhan tidak menggagalkan cita – citanya, tetapi Tuhan punya rencana yang jauh lebih baik dari yang dia rencanakan. Ini hanya soal waktu saja.
            Keputusannya menerima tawaran Bu Hartati untuk kuliah adalah hal yang membawanya bisa kemari. Yuda memutar otak agar bisa kuliah dan juga membantu keluarganya. Beruntunglah, tempat kerjanya dulu masih mengijinkan Yuda bekerja dengan paruh waktu. Itu hal yang sangat Yuda harapkan. Dengan kerja keras dan semangat belajar yang tinggi, Yuda berhasil mendapat beasiswa kuliah gratis setiap tahun dan menembus IPK terbaik. Menjadi mahasiswa teladan. Setelah lulus S1 di Fakultas Keguruan Bahasa Inggris. Yuda langsung ditarik oleh SMA favorit di kotanya untuk mengajar. Ditambah lagi, Yuda diberi kesempatan untuk kuliah S2 dengan bantuan pemerintah. Hal tersebut menimbang Yuda menjadi mahasiswa terbaik di kotanya. Yuda pun lolos tes masuk pasca sarjana di UPI.
            Yuda selalu mengajarkan kepada muridnya untuk memiliki cita – cita. Tak ada batasan untuk bermimpi. Mimpi bukan saja untuk orang yang berduit. Seperti dirinya. Anak seorang buruh yang bermimpi menjadi seorang guru dan dream comes true! It’s true!         

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman CPNS Dosen 2024: Titik Akhir, Awal Baru

KEUNIKAN YANG SAYA TEMUKAN DI INGGRIS

PENGALAMAN DAN TIPS UNTUK IELTS