RAPOR DAN BAPAK


Desember, 2011
            “Ibu.... “ Panggilku setengah berlari masuk ke rumah. Mukaku geram dan hatiku meledak – ledak tak karuan. Tanganku rasanya sudah gatal dan ingin meremas – remas buku merah yang kupegang ini. Buku yang biasanya dinantikan atau ditakuti oleh kalangan siswa di sekolah. Aku lantas mengayunkan kaki ke dapur karena mendengar suara codet dan penggorengan beradu. Itu pasti suara ibu yang tengah memasak sesuatu di dapur. Benar saja, Kulihat ibu tengah menggoreng tempe.
            “Kamu sudah pulang? kok gak beri salam dulu.” Ujar ibu tanpa mendelik ke arahku. Ia lebih fokus ke tempe – tempe itu.
            “Nanti saja salamnya, sekarang mana Bapak?” Pekikku kemudian melempar tasku ke sembarang tempat.
            “Bapak tadi sudah berangkat lagi.” Ibu kemudian menaroh tempe – tempe yang sudah kering dan harum itu ke piring dan meletakkannya di meja kemudian beranjak duduk. Aku semakin kesal karena ibu sepertinya tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan sekarang. Tidak ada rasa khawatir dan kecemasan sedikit pun di raut wajah ibu. Padahal saat ini hatiku sangat terluka. Sakit sekali karena rasa malu yang harus ku tanggung.
            “Mau makan sekarang, sayang? Tempenya masih hangat lo? ” Tukas ibu sambil tersenyum simpul padaku. Aku hanya terdiam. Sebetulnya aku lapar dan tergiur dengan tempe – tempe itu. Tapi sekarang aku ingin menunjukkan rasa kekesalanku pada bapak dan ibu. Aku tidak mau rencana ku pupus hanya karena tempe.
            “Ibu! Sudah Atin peringatkan jauh – jauh hari. Jangan biarkan Bapak yang mengambil rapor Atin. Suruh saja paman kan bisa?” Akhirnya aku berani melontarkan kata – kata itu disusul melempar buku rapor ke meja tepat dihadapan ibu. Ibu sedikit terkejut lantas ia menuangkan teh di cangkir dan meneguknya.
“Kemarilah, duduk di samping ibu.” Ajak ibu, aku pun menurut. Sejenak kami terdiam dan tidak berkata apa – apa. Ibu malah mengambil dan membuka rapor itu.
“Kamu juara kelas lagi ya, sayang? Pantas bapak bangga sekali padamu.” Ujar ibu. Aku mendengus kesal. Ibu sama sekali tidak khawatir bahkan setidaknya menanyakan kekesalanku sekarang.
“Ibu jangan mengalihkan pembicaraan dulu. Ibu belum jawab pertanyaan Atin. Kenapa bukan paman saja yang mengambil rapor Atin tadi. Aku malu Bu sama teman – teman di sekolah.” Aku kemudian membuang muka dan membelakangi ibu.
“Ibu baru saja menjawabnya kan?”.
“Baru saja menjawabnya? Yang mana jawaban ibu?” Pekikku dan kembali menghadap ibu?
“Lihat ini, sayang?” Ibu menunjukan buka rapor itu padaku. Ia menggerakan jari telunjuknya pada nilai – nilai di rapor ku. Dan itu membuat ku bingung. Apa sebenarnya maksud ibu?
“Aku malu Bu. Malu sama bapak. Bapak datang ke sekolah memakai becak ditambah lagi dengan pakaian yang lusuh. Padahal tidak ada orang tua siswa yang seperti itu kecuali Bapak. Semua pakai motor, bahkan ada yang naik mobil seperti Dea. Mau taroh dimana muka Atin, Bu?” Ketusku marah.
Ibu cuma tersenyum. Dia mengelus rambutku yang tampak berminyak dengan tangannya yang kasar. Namun itu sama sekali tidak berhasil meredam amarah ini. Aku pun kembali berujar, “Atin kan sudah peringati ibu. Tidak musti orang tua pun tidak apa – apa. Itu bisa diwakili oleh wali murid.”
Ibu mengambil nafas panjang sebelum kemudian berkata, “Semua nilai di rapor mu itu bagus. Ditambah lagi kamu berturut – turut selalu menjadi juara kelas dan selalu meraih beasiswa. Bapak tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Melewatkan kesempatan untuk membuat bapak bangga padamu, sayang? Bapak begitu senang saat berhadapan dengan guru – gurumu di sekolah dan menerima rapor itu. Bapak begitu bahagia karena kamu telah berhasil membuktikan meskipun kita berasal dari keluarga miskin, meskipun kamu hanya putri seorang penarik becak, tapi kamu bisa menjadi bintang kelas di sekolah.” Tutur ibu padaku dengan hangat.
Aku membisu dan pikiranku berkecamuk. Rasanya aku bosan mendengar kata – kata itu. Aku ini pintar? Aku ini bintang kelas? Aku sang juara? Apalah artinya semua itu kalau kemudian semua orang tahu kebenarannya bahwa aku hanya putri seorang penarik becak. Pasti semua orang akan menarik pujian – pujian itu dan menggantinya dengan sebuah hinaan.
Rasanya hidup tidak adil. Kenapa aku tidak bisa seperti Dea, temanku disekolah. Dia pintar, salah satu sainganku di kelas. Tapi dia punya segalanya. Rumah yang mewah, baju yang bagus, alat sekolah yang lengkap. Jelas saja, ayah nya seorang pengusaha yang besar. Masa depannya pun sudah bisa dijamin akan cerah seperti ayahnya. Nah, kalau aku? Hidup saja pas – pasan, boro – boro punya masa depan yang cerah. Yang ada bakal menderita terus menerus. Atau seperti teman – teman ku yang lain. Yang sama sekali tidak pintar tapi memiliki orang tua yang mapan. Oh Tuhan, sungguh besar cobaan yang kau berikan pada hamba?
“Ibu, Atin sudah SMA dan bukan anak – anak lagi. Atin sudah dewasa dan tengah mencoba mencari jatidiri Atin. Jadi tolong ibu bantu Atin. Ibu dan Bapak cukup mendoakan Atin. Dan Atin pun akan mendoakan yang terbaik untuk Ibu dan Bapak. Mulai semester depan, tolong jangan biarkan bapak datang ke sekolah Atin lagi untuk mengambil rapor atau untuk apa pun itu. Suruh saja paman yang datang, kalau paman menolak, mending tidak usah ada yang datang”. Kataku dengan tegas.
Mungkin perkataanku ini menyakitkan. Tapi kalau tak ku katakan, ini hanya menjadi luka yang bersarang dan berkarat. Dan perlahan – lahan hal itu akan membuatku frustasi. Aku melipat muka dihadapan ibu dan segera berdiri untuk meninggalkannya. Sasaran ku kemudian adalah kamar tidur. Yah, tempat yang biasa ku gunakan untuk melebur semua lara dan emosiku.
“Atin, kamu tidak makan dulu? Atau mau ibu ambilkan biar nanti kamu makan di kamar saja?.” Panggil ibu di balik pintu kamar ku yang sempit ini.
“Aku tidak mau makan. Dan kalau ada Bapak, jangan bilang kalau Atin sudah pulang” Teriakku dalam kamar kemudian mengakhiri perbincanganku dengan Ibu saat itu.
***
Juli, 2012
Selepas bel sekolah berdentang aku lebih memilih merebahkan tubuhku di taman sekolah daripada langsung ke rumah. Hatiku tertegun dan gusar. Aku melipat surat yang diberikan kepala sekolah tadi pagi. Surat yang mengatakan bahwa besok adalah pembagian rapor di sekolah dan bagian yang paling aku benci adalah orang yang berhak mengambil rapor itu adalah orang tua siswa. Kepada siapa aku harus minta tolong?
“Hai, Atin!” Tiba – tiba suara itu mengangetkan ku. Rupanya Dea.
“Kau sedang apa kok belum pulang, sedari tadi kulihat kerjaannya cuma melamun?” Tanyanya lagi.
“Oh, tidak apa – apa. Aku cuma sedikit bingung sekarang.”
“Bingung kenapa? Harusnya kau senang. Besok kan pembagian rapor dan kayaknya kamu tetap jadi sang juara kelas deh!” Seru Dea girang, dia memang teman yang baik.
Justru itu yang membuatku bingung, Dea? Siapa yang akan mengambil raporku? Dan hal itu tidak akan mungkin ku ceritakan padamu kecuali aku ingin mempermalukan diriku sendiri.
“Kok diam? Oh ya, siapa yang mengambil rapor mu besok?” Dea bertanya lagi.
Aku terperangah. Kenapa Dea bisa menanyakan hal yang baru saja ku katakan dalam hati? Sial!
“Mungkin paman karena orang tuaku sibuk.” Kataku sekenanya saja. Dea meresponnya hanya dengan ber – oh. Untunglah Dea tidak mempermasalahkan jawabanku. Sepertinya hal itu tidak membuatnya terusik dan penasaran. Setidaknya ini aman.
“Lihat itu ayahku.” Dea berdiri dan melambaikan tangannya. Sebuah mobil avanza hitam sudah menunggu di depan sekolah. Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang pengusaha itu. Jujur aku iri dan cemburu padanya.
“Ikutlah denganku Tin, kita pulang sama – sama. Sekaligus, biar aku tahu juga dimana rumahmu. Bagaimana?” Ajak Dea padaku.
“Apa? Oh, makasih. Tapi biar aku pulang sendiri. Soalnya aku mau ke rumah bibi dulu. Lain kali saja ya?” Kataku bohong.
“Oh ya sudah, sampai ketemu besok ya.” Ujarnya. Huh, untunglah Dea segera pergi. Menghilang bersama avanza hitam yang keren itu. Aku belum siap menunjukan pada Dea tentang semuanya. Tentang keadaan siapa diriku sebenarnya.
***
Aku pulang dengan langkah gontai. Masuk ke rumah tanpa mengucapkan salam. Disana, Ayah dan ibu tengah mengobrol di ruang tamu yang hanya terdiri dari 2 kursi rombeng itu.
“Syukurlah anak bapak sudah pulang. Baru saja bapak berniat mencari kamu di sekolah.” Ucap bapak senang. Aku menatapnya datar.
“Bapak mau mencariku? Dengan becak tua itu?” Kataku sinis. Bapak dan Ibu saling pandang. Mungkin terkejut dengan ucapanku.
“Kamu kenapa sayang, kok malah cemberut gitu.” Tanya ibu.
Aku merogoh kertas surat yang kulipat di sakuku. Kuserahkan itu pada mereka.
“Ini surat panggilan orang tua ya?” Gumam ibu.
“Ya.” Kataku singkat.
“Oh kalau itu jangan khawatir. Besok bapak akan usahakan datang.” Kata Bapak dengan bangga. Aku terkesiap dan kesal. Selama ini Bapak sama sekali tidak pernah menyadari justru karena bapak masalah ini muncul. Apa perlu aku mengatakan secara langsung kalau aku tidak suka ia datang ke sekolah?
“Aku tidak menyuruh Bapak datang besok.” Kilahku memberanikan diri merangkai kata – kata itu. Sejurus itu membuat Bapak tersentak. Ia tertunduk dan seketika terdiam. Mungkin aku memukul perasaannya.
“Ya sudah, kalau kamu tidak mau bapak datang. Nanti ibu suruh paman saja, ya? Semoga saja ia tidak sibuk besok.” Kata ibu mencoba mencairkan keadaan. Aku bernafas lega. Untunglah, ibu bisa juga mengatakan kalimat itu. Kalimat yang sudah aku tunggu jauh – jauh hari. Aku pun segera melangkahkan kakiku untuk merebahkan tubuhku yang lelah di kamar. Setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak.
***
Suasana sekolah tampak lain sekarang. Tidak ada kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Hari ini adalah pembagian rapor semester II. Semua siswa menunggu dengan hati berdebar – debar. Menunggu apakah nilai di rapor itu akan memuaskan atau justru membuat mereka terjatuh. Namun lain hal nya denganku. Aku justru lebih berdebar – debar menunggu siapa yang akan datang mengambil rapor hari ini? Paman ataukah bapak? Apakah ibu hanya menghiburku dengan berkata bahwa paman yang akan mengambil raporku. Aku benar – benar takut sekarang.
Semua orang tua siswa sudah berkumpul di kelas. Siswa tidak boleh masuk dan hanya menunggu di luar. Hanya bisa menyaksikan wajah – wajah orang tua mereka di balik jendela kelas. Aku tidak bisa membayangkan diriku kalau bapak berada disana dan semua orang melihat itu. Pasti temanku akan terheran – heran melihat orang yang berpakaian lusuh dan kacau berada di sekolah ini. Semua akan terheran – heran bahwa ia adalah orang tuaku, sang juara kelas dan peraih beasiswa pendidikan karena prestasinya yang cemerlang. Aku belum siap dengan semua itu.
Aku tidak ingin mengulang kejadian semester lalu. Aku tidak ingin bersembunyi dari teman – temanku lagi ketika aku tahu bapak lah yang datang. Aku tidak ingin kembali memarahi ibu untuk kesekian kalinya.
Guru kelas pun datang. Itu artinya pembagian rapor akan dimulai. Mungkinkah tidak akan ada yang mengambil raporku? Mungkinkah paman menolak untuk datang? Paman  memang sangat sibuk tapi apakah sesibuk itu sehingga tidak bisa menyempatkan waktunya untuk kesini? Oh Tuhan tolonglah aku.
Satu demi satu orang tua siswa keluar dan disambut oleh pertanyaan – pertanyaan anaknya yang menunggu sejak tadi. Ada yang kecewa, bahagia, terheran – heran, dan beragam ekspresi lain dari mereka. Adapula orang tua yang memarahi mereka. Aku hanya bisa menatap itu dengan tatapan kosong. Sekosong pikiranku yang menunggu kedatangan paman.
“Hai Atin, bagaiman nilai mu? kok aku belum lihat orang tuamu?” Lagi – lagi Dea selalu mengangetkanku dan muncul saat aku tengah berpikir. Saat itu Dea bersama ayahnya. Seorang yang siapapun berdiri disampingnya akan berbangga diri. Pengusaha, kaya, dan tampan.
“Entahlah, aku pun sedang menunggu mereka.” Kataku lemas.
“Oh iya, aku lupa mengenalkan ayahku. Ayah, ini Atin, orang yang sering aku ceritakan.” Lanjut Dea. Aku pun salah tingkah dan bingung. Ayah Dea tersenyum manis padaku.
“Perkenalkan aku Atin.” Ujar ku, berusaha seramah mungkin lantas menyalami tangannya.
“Oh.. eh.. ah.. ah.. eh.. ah.. oh... eh.. oh.. ah.. ah.. oh.” Ayah Dea berkata padaku dengan cara yang aneh. Aku tidak mengerti apa yang Ayah Dea katakan. Mataku terbelalak dan menatap Atin tajam. Penuh dengan seribu tanya.
“Oh maaf, aku lupa cerita soal ini, pasti kamu terkejut ya? Ayah ku seorang tuna wicara.” Ungkap Dea dengan tersenyum simpul.
“Tu..na.. wi.. ca.. ra!” Kataku terbata – bata.
“Yah, sejak kecil ayah tunawicara. Tapi aku bangga dan sama sekali tidak malu pada ayah. Tanpa ayah, aku tidak mungkin bisa sebesar ini. Tanpa ayah, aku tidak mungkin bisa sekolah. Tanpa ayah, aku tidak mungkin berada di dunia ini. Aku bisa melihat bagaimana ayah bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi kehidupan aku dan ibu. Itu semua tidak akan terbalaskan.” Jelas Dea.
Dea kemudian memeluk ayahnya. Aku hanya bisa melihat itu dengan bergeming. Sebuah pemandangan yang hangat. Sangat hangat, hubungan seorang ayah dan putrinya. Mataku berlinang air mata. Sungguh ini sangat menghanyutkan perasaanku. Betapa bodohnya diriku! Betapa hinanya diriku! Kenapa selama ini aku tidak bisa bersikap seperti Dea. Dea begitu menjunjung tinggi ayahnya, tanpa ada rasa malu secuil pun meskipun ia seorang tunawicara. Aku punya bapak yang bisa bicara dengan baik, bisa melihat, mendengar, bekerja, dan selama ini bisa menghidupi aku dan ibu. Oh Tuhan, kenapa aku tidak menyadari itu.
Langkah yang kuambil berikutnya adalah pergi dan berlari. Berlari untuk mencari Bapak. Membiarkan bapak untuk mengambil raporku. Semoga saja ini masih belum terlambat.
***
Sudah aku duga sebelumnya, Bapak pasti berada di warung Bu Royanah. Bapak biasa melepas lelah dan membeli secangkir kopi di warung itu. Dari kejauhan aku melihat wajahnya yang hangat dan kurindukan saat ini. Ia bersama teman – temannya sesama penarik becak disana. Apakah aku harus malu untuk menemui bapak? Kali ini aku menjawab ‘tidak’ dengan mantap.
“Bapak disini rupanya.” Kataku dengan tersenyum simpul. Bapak sedikit kaget melihatku datang. “Atin, sedang apa disini, nak?” Jawab bapak.
“Kenapa bapak tidak ke sekolah? Atin sudah menunggu lama. Atin tidak mau kalau sampai tidak mendapat rapor itu.”
Bapak semakin dibuat terkejut oleh ucapanku, “Loh, bukannya ibu menyuruh paman yang kesana, nak?”
“Paman tidak datang. Bapak tahu sendiri kan, paman sangat sibuk dengan kerjaanya. Bapak harus ke sekolah sekarang.”
Bapak tersenyum dan kelihatannya begitu bahagia. “Lihatlah, ini anakku yang sering kuceritakan. Putri seorang penarik becak yang otaknya cemerlang seperti putri pengusaha.” Bapak berkata pada teman – temannya. Semuanya tertawa lepas. Sungguh ini membuatku terharu. Aku bahagia melihat bapak tersenyum dan bahagia seperti itu.
Sejurus bapak mengambil becaknya. “Ayo nak kita ke sekolah.” Tanpa pikir panjang aku naik ke becak bapak. Tanpa ada rasa malu sedikitpun. Justru rasa bangga yang aku rasakan sekarang. Yah, mungkin rasanya naik mobil avanza seperti Dea.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman CPNS Dosen 2024: Titik Akhir, Awal Baru

KEUNIKAN YANG SAYA TEMUKAN DI INGGRIS

PENGALAMAN DAN TIPS UNTUK IELTS