HAMBAR
Aku
masih ingat waktu itu. Senin sore sepulang kerja ketika aku berdiri menunggu
bis di halte. Aku bertemu dengan jelmaan bidadari yang sangat cantik dan
anggun. Aku begitu terpana dibuatnya, kulitnya putih merona, tinggi semampai,
matanya lentik, dan hidungnya mancung seperti orang timur tengah. Rambut
panjangnya yang tergerai sesekali terhempas oleh angin membuat aura
kecantikannya semakin terlihat.
Dia
seperti tidak melihatku padahal aku berdiri disampingya tanpa berkedip. Yang
dia lakukan Cuma memijit – mijit tombol ponselnya. Kemudian aku pun
memberanikan diri untuk berkenalan denganya.
“Menunggu
seseorang?” tanyaku. Dia Cuma tersenyum. Mungkin maksudnya iya. Aku pun
menyodorkan tanganku yang dingin karena gugup. Dia menatapku dari ujung kaki
sampai ujung rambut. Membuatku semakin salah tingkah. Kutarik tanganku kembali.
“Panggil
saja, Anti.”
“Wah,
good name,” kataku menggoda. Dia
kembali tersenyum. Setelah itu datanglah seorang wanita berkendara motor, yang
kemudian aku tahu namanya Mbk Nurul. Anti menatapku sepintas dan duduk
membonceng dimotor itu. Dia melambaikan tangganya kemudian pergi. Pandanganku
tak lepas sampai Anti menghilang.
Aku
tak bisa melupakkan begitu saja moment perjumpaanku dengan Anti. Mungkin lebih
tepatnya pendekatan sebelum menginjak ke sakral sebuah pernikahan. Namun Anti
sedikit aneh. Aku berkacak pinggang di depan cermin lemari yang sudah cukup usang.
Menyisir rambut dan merapihkan janggutku.
“Aku
orang baik, punya pekerjaan dan tampang yang tidak terlalu buruk tapi kenapa
sulit bagi Anti untuk menerima aku sebagai suaminya,” ketusku. Anti selalu saja
mengatakan belum siap ketika aku mengajaknya menikah dan seringkali mengganti
topik pembicaraan kalau saja aku mengobrolkan perihal pernikahan. Atau mungkin
dia tidak serius mencintaiku. Ah, mungkin pikiran burukku saja.
# # #
Malam
ini aku beruntung. Rupanya doaku terkabul. Kalau saja langit memuntahkan hujan
maka niatku untuk menemui Anti bisa gagal. Sudah 2 minggu ini aku tidak
bertatap muka dengannya. Dia pergi keluar kota, katanya untuk belanja bahan –
bahan kosmetik bersama bosnya. Maklum, Anti bekerja disebuah salon kecantikan.
Sudah
kusiapkan setangkai mawar putih yangb harum kesukaanya. Lengkaplah sudah aku
sebagai seorang pria. Rumahnya memang cukup jauh dari pusat kota. Dia
mengontrak sebuah rumah didaerah yang bisa terbilang terpencil.”Saya kurang
suka keramaian.” Itu yang dikatakan Anti ketika aku menyuruhnya pindah kerumah
kontrakan yang berada di pusat kota. Sebetulnya bukan masalah bagiku dimana dia
tinggal atau bagaimana latar belakangya. Yang terpenting adalah rasa cinta satu
sama lain, karena itu adalah fondasi utama sebuah hubungan.
“Indah
sekali mawarnya mas.” Anti menghirup mawar itu beberapa kali. Anti rupanya
senang menerima mawar itu, kemudian dia meletakannya di sebuah vas kaca bening
dia atas meja persegi yang bertaplak putih krem
diruang tamu.
“Sendiri?”
tanyaku sambil melihat keadaan sekeliling rumah. Anti hanya mengangguk. Aku
senang berarti hanya ada aku dan dia seorang di rumah ini. “Mbak Nurul lagi
keluar,” seru Anti. Kemudian kami duduk. Anti membawakan secangkir kopi
kesukaanku. Kuseruput kopi itu. Selalu saja hambar seperti biasanya.
“Manis?”
Tanya Anti.
“Pas,”
kataku bohong. Anti tersenyum puas. Kami mengobrol banyak malam itu bahkan ke
hal – hal yang sebetulnya tidak perlu diobrolkan. Semisal aku melihat cangkir
maka kupuji dia betapa cantiknya cangikir itu kemudian menjadi obrolan panjang.
Lantas ku lirik jam dinding, kutanya dia mengenai perbedaan waktu antara
Indonesia dengan beberapa Negara tetangga saperti, Malaysia, Singapura, Ataupun
Brunei dan menjadi topik yang panjang . Namun ketika kutanya dia mengenai
pernikahan dia sama sekali tidak merespon.
“Aku
siap menjadi suamimu.”
“Aku
belum siap Mas, kita kan baru saling mengenal.”
“6
bulan rasanya cukup, ayolah!”
“Mas
ini tidak sabar sekali.” Anti menarik tangannya yang sedari tadi kugengam.
Kutarik lagi tangannya dan kembali kugenggam erat. Kemudian kupeluk dia. “Aku
mencintaimu,” bisikku pada Anti. Namun Anti malah menepis tubuhku. “Jangan
terlalu mencintaiku Mas.” Aku sedikit kesal dengan tingkahnya yang kurang
responsif itu.
“Kamu tidak mencintaiku?” ketusku kesal.
“Lebih dari cinta Mas.”
“lantas karena apa?”
“Aku belum siap Mas!”
Aku
begitu emosional mendengarnya. Ingin rasanya kupaksa dia bercengkrama malam itu
supaya dia mau menikahiku. Tapi setidaknya aku masih punya iman dan tahu betul
bahwa berzinah itu dosa yang sangat besar.
“Maafkan
saya Mas,” ujar Anti kemudian menangis. Kutarik nafasku panjang dan kuseka air
matanya. Kucoba menenangkan api kemarahan ini. “Kopi ini sudah dingin,” kataku
memecahkan keheningan. “Biar saya buatkan yang baru Mas,” jawab Anti kemudian
pergi. Dompetnya tertinggal di kursi. Kubuka dompet itu sekedar ingin tahu
saja. Ternyata ada foto seorang pria berukuran 3X4 terpajang diselipan dompet
itu. Mukanya mirip sekali dengan Anti. Anti kembali dengan membawa kopi yang
kupesan tadi. Betapa terkejutnya dia ketika melihat aku memegang dompet dan
foto itu.
“Mas
kembalikan!” Anti langsung menyambarnya dari tanganku. “foto siapa?” kilahku.
Anti sejenak terdiam, “Itu adikku Mas.”
“Pantas
mukanya mirip sekali denganmu, sekarang dia dimana?” aku lanjut bertanya.
“Meninggal.”
Aku terkejut sekali mendengarnya. “maaf, aku tidak tahu, memang kenapa dia bisa
meninggal?”
”Sakit.”
Terbersit rasa menyesal rasanya karena aku mungkin telah membuka lama yang
telah ia kubur. Anti kembali duduk disampingku. Kuseruput kopi baru itu, ehm
masih tetap hambar. Malam semakin lekat. Pertemuanku dengan Anti tetap saja
belum menghasilkan keputusan.
# #
#
Dono
teman lamaku bertanu kerumah. Sebetulnya aku tidak terlalu senang berjumpa lagi
dengganya. Bagaimana tidak, pria keturunan Batak ini sering sekali membuat ku
jengkel. Terakhir dia mempermalukan aku didepan seorang gadis. Dono bilang
gadis itu tergila – gila padaku, namun ketika aku pastikan justru tamparan
keras yang aku terima. Anehnya, dia seperti orang yang tidak pernah melakukan
kesalahan. Diusianya yang yang sama denganku, yakni berkepala 3 kupikir akan sedikit
mengubah sikap buruk nya itu, rupanya tetap saja. Sejurusnya dia jauh lebih
beruntung dariku. Dia telah menikah dan aku masih membujang.
“Aku
jadi teringat masa muda kita Dan,” serunya sambil menyantap keripik kulit yang
kuhidangkan. “Apa yang diingat, tidak ada yang menarik.” Kataku acuh. “haha..
kau sama seperti dulu, kamu tinggal sendiri?” lanjut Dono kembali bertanya,
kali ini dia menikmati kopinya. “Seperti yang kamu lihat.”
“Kenalkan
aku sama dia?”
“Dia
siapa?”
“Jangan
pura – pura bodoh, pacarmu lah masa nenekmu!” hardik Dono.
“Anti
namanya,” jawabku. “Anehnya kamu masih tetap membujang ya, gila kamu Dan! Aku
saja sudah menikah dan beranak 3” tukas Dono. Aku sedikit terpukul mendengar
pernyataan Dono. Memang seluruh kerabatku sudah menikah, kecuali aku.
“Kalau
kamu tidak segera menikahinya, bisa jadi dia akan jadi milik orang lain lantas
kamu akan bilang itu bukan jodohmu dan menyalahkan takdir!”
“Tapi
dia selalu menolak kuajak menikah.”
“Pintar
– pintar lah cari cara.”
2
jam sudah aku berbincang – bincang dengan Dono. Walaupun sebetulnya dia lebih
banayk berbicara dan aku mendengarkan. Semua kata – kata yang keluar dari
mulutnya menjadi bahan pemikiranku saat ini. Setelah aku berpura – pura menguap
beberapa kali, akhirnya Dono merasa tidak enak juga berlama – lama. Dia
kemudian pamit dan pulang.
Namun
seperginya Dono justru membuatku semakin tidak waras. Aku terus saja memikirkan
Anti. Kapan kiranya aku menikah? Ada apa dengan Anti? Ataukah dia tidak tulus
mencintaiku?
# # #
Sore
itu kutunggu Anti cukup lama di jembatan besar yang kebanyakan warga
menyebutnya jembatan angker. Dibawahnya terdapat aliran sungai yang cukup
deras. Jarang sekali kendaraan yang berlalu – lalang dikawasan ini. Hanya satu
dua kendaraan yang punya cukup nyali melewati jembatan itu. Konon, dulu ada
seorang pria yang nekat meloncat kesungai lantaran dikhianati kekasihnya dan
hantunya sering menampakkan diri. Memang sepi dan sangat mencekam. Bulu kudukku berdiri
juga membayangkannya.Ah, bukan saatnya untuk takut. Aku datang kesini untuk
berbicara serius dengan Anti. Akhirnya kulawan rasa takut itu.
Selang beberapa menit Anti kemudian
datang. “Mas Ramdan kenapa kita disini, aku takut, ayo kita cari ketempat lain
saja,” keluh Anti wajahnya kerap ketakutan. “Aku tidak takut sama sekali, aku
kesini karena aku mau bicara!” kataku mantap.
“Bicara apa? Dirumahku bisa kan?”
“Di tempat lain penuh debgan
kebohongan, hanya disini tempat yang penuh rasa takut yang membuat kita jujur.”
“Maksud kamu apa sih mas, apakah mas
pikir aku orang yang tidak pernah jujur, maka Mas membawaku kesini.”
“Iya.” Kegenggam tangan Anti dan
kupandang lekat wajahnya. “Menikahlah denganku.” Anti menarik tangannya dan
mundur beberapa langkah dariku. “Jadi itu tujuan dari Mas Ramdan membawake ke
tempat ini, jawabanku tetap sama. Aku masih belum siap Mas.”
Aku tak bisa habis pikir dengan
jawaban Anti yang tidak pernah berubah itu. Kupikir dengan membawanya kesini
bisa meluluhkan hatinya. Ternyata aku salah.
“Mas Ramdan memintaku berkata jujur,
dan itu kejujuran saya Mas,” lanjut Anti. Air matanya menggenang dipelupuk
matanya. “Kau rupanya tidak tidak tulus mencintaiku,” kataku lemas. Kualihkan
pandanganku ke arus sungai. “Tidak, bukan seperti Mas, Mas tidak mengerti
keadaanku.”
“Keadaan apa? Bagaiman aku mengerti
sementara kau tidak pernah menceritakannya!”
“Oleh karena itu, kumohon jangan
paksa aku terus Mas. Biar kita nikmati hubungan kita seperti ini dulu.”
“Sampai kapan?”
“Biar waktu yang menyelesaikan
semuanya.” Anti tersenyum singkat padaku, kemudian memelukku. “Aku harus
pergi,” gumam Anti kemudian pergi meninggalkanku seorang diri dijembatan angker
itu.
# # #
Kubaringkan tubuhku di kursi panjang
yang terbuat dari anyaman bambu yang berada diserambi rumah. Menatap langit
yang penuh rona kehitaman. Beberapa bintang yang berkedip menyempurnakan
keindahan malam itu. “Huh, andai saja Anti seperti rembulan yang tidak pernah
berkhianat,” gumamku. Dingin mulai terasa menusuk tubuhku yang hanya mengenakan
kaos tipis. Ditengah kedinginan, ponselku berbunyi rupanya ada pesan singkat
masuk.
Mas
Ramdan besok temui Anti jam 1 siang. Anti akan ceritakan semuanya. Anti harap
malam ini bukan malam terakhir hubungan kita. Trims.
Aku terkesiap membacanya. Apa maksud
semuanya itu.Entahlah, Saat ini aku
tidak bisa berpikir jernih. Kita lihat besok saja. Hatiku malah semakin kacau.
# # #
Aku sudah berada dirumahnya pukul 1
siang. Rumahnya tidak ada yang berubah. Penuh kesepian. Kali ini aku sedikit
lebih tenang. Aku akan terima apa pun yang akan Anti katakan nanti. “Siang
Mas,” sapa Anti seraya membukakan pintu rumahnya. Ada sesuatu yang berbeda
diwajahnya. Pasalnya dia belum bersolek. Hal itu membuatku sedikit terkejut.
“Kenapa Mas ada yang aneh?” selidik
Anti karena melihat ku yang terus melongo menatapnya. “oh tidak,” kataku. Anti
mempersilahkanku duduk kemudian dia masuk dan kembali membawakan secangkir kopi
seperti biasanya.
“Apa yang hendak kau
ceritakan?” tanyaku memulai pembicaraan.
Anti tersenyum simpul. Dan aku tidak mengerti maksud senyumannya itu. Dia malah
mengambil cermin disaku bajunya, lantas bersolek didepanku. Memakai bedak,
lipstik, pensil alis dll. Aku semakin tidak mengerti. Aku pun terdiam, kutunggu
dia sampai mulai berbicara.
“Mas Ramdan lebih suka aku berdandan
atau tidak?” ujar Anti.
“Begini lebih baik,” kataku singkat.
Anti tersenyum lebar. “Dengan kata lain Mas Ramdan hanya mencintai
kecantikanku, bukan?”
“Apa maksud kamu?” Aku semakin
bingung.
Anti kemudian mengambil handuk kecil
dan mengelap wajahnya untuk menghilangkan bedak, lipstik, alis pensil dll yang
telah ia pakai tadi. “Tanpa bersolek aku tidak akan cantik Mas,” gumam Anti.
Kemudian Anti berdiri dan
mengeluarkan dompet dari kantong roknya. Dia mencabut 1 foto kemudian
menyerahkannya padaku. “Apa ini, ini kan foto adikmu yang meninggal!”
“Aku berbohong, Mas salah besar!”
Anti menatapku serius. Dia membuka
resleting rok yang sedang ia kenakan dan melepasnya tepat didepanku. Mataku
terbelalak karena kaget.”Apa yang akan dia lakukan!” Aku bertanya dalam hati.
Baru aku tersadar ada sesuatu yang aneh bahkan sangat aneh. Aku setengah tidak
percaya dengan apa yang kusaksikan tadi.
Bulu kudukku seketika berdiri seperti melihat hantu. Aku mendongak dan menatap
Anti berharap dia mengatakan sesuatu.
“Ini bukan foto adikku Mas, ini
justru fotoku waktu masih muda dulu.”
“Anti kau rupanya??”
“Panggil aku Anto!”
Gila. Benar – benar gila. Ingin
muntah aku menyaksikan ini.
Bahkan saat kuingat dulu aku pernah bermesraan dengannya. Lekas aku berdiri dan
berlari tanpa menengoknya. Lari sekencang mungkin. Menghardik hujan yang tiba –
tiba turun. Tidak bisa kubayangkan kalau aku nanti akan menikahi Anto.
Komentar
Posting Komentar