PRASANGKA
“Bapak berangkat ya bu. Titip anak – anak.
Jaga kesehatan dan jangan lupa selalu hubungi bapak kalau ada masalah ya?” Ucap
Pak Anwar pada istrinya.
“Iya,
Bapak juga jaga diri baik – baik. Bapak tidak usah banyak memikirkan ibu dan
anak – anak disini, fokus aja sama kerjaan bapak.” Ungkap ibunya kemudian
mencium suami tercintanya disusul Fadil dan Naila yang bergantian menyalami."
“Syukurlah
kalau begitu. Bapak lega mendengarnya.” Ujar Pak Anwar kemudian.
Setelah
pamitan Pak Anwar pun pergi, ini saatnya Bu Cici kembali menjadi single parent di rumah. Sebetulnya bisa
saja Bu Cici ikut suaminya pergi ke Tangerang tapi Bu Cici menolak karena
bisnis kue keringnya cukup melejit di Indramayu dan alasan utamanya karena ibu
kandungnya yang tinggal sendiri. Sebagai anak, dia ingin terus berbakti kepada
orang tuanya. Itu yang membuatnya tidak nyaman jauh dari kota kelahirannya.
Untungnya, Pak Anwar suami yang pengertian. Dia setuju dan memaklumi keputusan
istrinya tersebut.
Kemarin
Pak Anwar sengaja menyempatkan pulang dan mengunjungi istri tercintanya untuk
merayakan hari pernikahan yang sudah berusia 12 tahun. Menurutnya, setiap
pasangan wajib menyempatkan waktu merayakan moment
tersebut semata – mata untuk menambah keharmonisan keluarga. Diusia
pernikahan yang ke-12 ini justru membuat hubungan mereka terlihat semakin
romantis. Keduanya tampak bahagia. Dua orang anak pun menambah kebahagiaan di
pernikahan mereka. Tapi hari bahagia itu tidak berlangsung lama, sekarang Pak Anwar
harus berangkat lagi ke Tangerang. Pekerjaan disana tidak bisa di tinggal.
Posisinya sebagai kepala sekolah di sebuah SMP adalah sebuah tanggung jawab besar.
Namun Pak Anwar selalu meng-agendakan hari pernikahan itu jauh – jauh hari.
***
Klik!
Baru saja Bu Cici selesai menelpon suaminya. Sejak siang tadi Bu Cici merasa feeling nya tidak baik, itu lah kenapa
dia tadi buru – buru menelpon suaminya. Benar saja, suaminya tengah ada masalah
dengan rekan gurunya di sekolah. Feeling
Bu Cici memang tidak pernah meleset, ketika ada hal yang mengganjal dia segera
menelpon suaminya.
“Bapak
sempat berurusan dengan rekan guru disekolah, dia sering terlambat masuk kelas.
Maka bapak tegur, tapi dia malah tersinggung dan tidak terima.” Itu yang
dikatakan suaminya di telepon.
“Bapak
harus menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, hal yang begitu harus
dibicarakan secara personal saja dengan yang bersangkutan. Biar dia tidak
merasa tersinggung lagi kalau ditegur bapak.” Kata Bu Cici dengan tenang
menasehati suaminya. Pak Anwar meresponnya dengan positif. Pak Anwar adalah pendengar
yang baik. Tidak pernah menyela setiap nasehat yag diberikan istrinya.
“Ibu....”
Teriak putri nya yang baru duduk dibangku 3 SD memecah lamunan Bu Cici.
“Ya
sayang? Sudah selesai ngajinya?” Ucap Bu Cici sambil mengelus rambut putri
bungsunya itu.
“Udah.
Kapan Bapak datang lagi?” Tanya Naila tiba – tiba.
Bu Cici
tersentak dengan ucapan anaknya. Tidak biasanya dia bertanya begitu.
“Naila..! Sini kamu! Ngajinya kan belum
selesai? Jangan kabur, hayo!” Fadil, kakaknya teriak. Bu Cici tersenyum,
rupanya tadi Naila berbohong.
“Tadi
siapa yah yang bilang ke ibu kalau sudah selesai ngajinya?” Ejek Bu Cici.
“Maaf
bu..” Rutuk Naila parau. Dia tahu kesalahannya. Namun Bu Cici mengerti, alasan
kenapa dia sampai berbohong tadi adalah ingin mendengar jawaban kepulangan soal
Bapak darinya.
“Bapak
kan baru saja kemarin kesini sayang, jangan khawatir, kalau libur sekolah pasti
bapak datang. Banyak berdoa saja ya biar bapak selalu sehat disana.” Ucap Bu
Cici. Tapi dia menangkap rasa tidak puas dari ekspresi Naila mendengar jawaban
itu.
“Naila
kenapa, sayang?” Tanya Bu Cici lagi.
“Tadi
teman sekelas Naila ada yang nangis bu.”
“Kenapa?
Naila nakal ya?”
“Bukan
karena Naila! Tapi karena Bapaknya!” Sela Naila.
“Bapaknya
kenapa sayang?” Tanya Bu Cici dengan halus.
“Kata
temen Naila, bapaknya itu pergi dan gak ke rumah lagi bu.”
Bu Cici
cukup terkejut. Dia mengerti rasa takut yang tiba – tiba timbul dari hati
putrinya.
“Temen
Naila bilang, bapak dan ibunya udah pisah. Dan sekarang temen Naila cuma punya
ibu.” Ucap Naila. Bu Cici paham betul, maksud Naila adalah perceraian. Yah
orang tua temannya bercerai. Ternyata itu menimbulkan rasa takut bagi Naila
sendiri.
“Naila
harus percaya sama bapak ya? bapak tidak akan pergi ninggalin Naila, ibu, dan
mas Fadil. Naila jangan sedih lagi ya, Sayang?” Bu Cici mencoba menenangkan
Naila.
“Iya
bu, bapak pasti pulang nanti kan?” Seru Naila, senyumnya sudah muncul sekarang.
“Pasti
dong!”
“Naila?!
Cepet selesain ngajinya!” Fadil kembali berteriak. Naila pun buru – buru pergi
untuk melanjutkan ngajinya. Dia tidak mau dimarahin oleh kakaknya.
Sejujurnya,
hati Bu Cici bergetar setelah mendengar cerita Naila tadi. Entah kenapa
sekarang timbul rasa takut. Takut apa yang dialami temannya Naila akan
dialaminya juga.
***
Hari
ini begitu melelahkan bagi Bu Cici. Rumahnya sudah seperti kapal pecah. Tapi
mau bagaimana lagi, minggu ini adalah giliran rumahnya menjadi tempat kumpul arisan
para ibu kompleks di perumahan tempat tinggalnya. Untungnya, beberapa temannya
mau membantu membereskan rumah Bu Cici. Temannya – temannya mengerti kalau Bu Cici
tinggal sendiri dan tidak memiliki pembantu.
“Makasih
ya Bu Amel, Bu Iyos, Bu Iim udah bantu beres – beres, jadi ngrepotin.” Ujar Bu
Cici seusai membereskan semuanya.
“Sama
– sama, kita tunggu bayarannya saja nanti ya.” Gurau Bu Amel. Semuanya tertawa.
Bu Amel memang dikenal orang yang ceplak – ceplok dan suka bergurau.
“Anak
– anak kemana? Kok tidak keliatan?” Tanya Bu Iyos, dia adalah ibu RT di
kompleks itu.
“Mereka
lagi di rumah neneknya Bu.” Jawab Bu Cici singkat.
“Kalau
aku liat si Naila itu kok mirip banget ma bapaknya ya?” Bu Amel bersuara lagi.
“Ya
jelaslah Bu! Naila kan putrinya, kalau mirip suami Bu Amel, itu baru
bermasalah.” Pekik Bu Iim, dia adalah bendahara arisan itu. Semuanya pun
kembali tertawa.
“Ngomong
– ngomong soal suami nih ya? Kira – kira apa ya resep biar hubungan suami istri
tambah langgeng dan mesra?” Tanya Bu Iim kemudian.
Pertanyaan
Bu Iim yang mendadak itu rupanya membuat para ibu ini berpikir.
“Kalau
aku sih makan malem berdua keluar ma suami.”
Kata Bu Amel.
“Kalau
aku sih biasanya jalan – jalan ke mall.” Itu menurut Bu Iim.
“Aku
sih biasanya manja dan minta suami nyiapin makan. Ehm... Kalau Bu Cici gimana?”
Tukas Bu Iyos.
Bu
Cici sedikit tidak yakin dengan ucapannya, “Suami aku kan jarang di rumah Bu,
jadi jarang punya acara – acara begitu. Tapi kemarin sih aku dan suami ngerayain
hari ulang tahun pernikahan.” Jelas Bu Cici.
“Tapi
aku salut loh sama Bu Cici, rumah tangganya gak pernah keliatan bermasalah.
Bener gak ibu – ibu?” Selidik Bu Iyos. Bu Amel da Bu Iim pun meng-iyakan.
“Eh
tapi jangan salah loh bu, justru karena ada masalah hubungan suami istri itu
semakin langgeng?” Ketus Bu Amel.
“Aku
setuju sama Bu Amel, aku pernah ribut karena aku tuduh suamiku selingkuh. Tapi
setelah itu justru suamiku semakin sayang dan mesra.” Cerita Bu Iim.
“Ceritaku
hampir sama seperti Bu Iim, karena sifat cemburu aku yang besar, suami sempet
marah tapi setelah itu, dia sadar kalau rasa cemburuku itu adalah rasa sayang.”
Kali ini Bu Amel bercerita
“Bisa
dibenarkan juga Bu, kalau berumah tangga gak ada masalah kan monoton – monoton saja
hidupnya. Dari masalah kita cari solusi kan nantinya?” Jelas Bu Iyos
membenarkan ucapan Bu Iim.
Monoton?
Kata itu menyentak Bu Cici. Jadi selama ini, apakah rumah tangganya tampak
monoton karena tidak ada masalah? Itu yang menari – nari dipikirannya.
“Kalau
Bu Cici gimana?” Tanya Bu Iim.
Bu Cici
tampak bingung menjawabnya. Selama ini tidak pernah ada masalah dalam rumah
tangga. Semuanya fine saja.
“Bu
Cici pernah tahu apa yang dilakukan suami ibu disana?” Selidik Bu Iyos.
“Maksud
Bu Iyos?” Kilah Bu Cici tidak mengerti.
“Ibu
tidak ada sedikit aja rasa curiga gitu.” Bu Amel menambahkan. Bu Cici terdiam.
Itu mengguncang perasaannya.
“Aku
percaya dia tidak akan macam – macam disana bu.” Jawab Bu Cici.
“Yah,
bagus lah kalau gitu. Semoga saja begitu adanya ya Bu. Namanya manusia kan bisa
saja khilaf.” Tukas Bu Amel. Itu membuat Bu Cici semakin speechless. Sekarang Bu Cici
lebih banyak diam.
Setelah
puas berbincang – bincang para ibu ini pun pulang. Rumah Bu Cici kembali sepi,
tapi hati nya ramai. Ramai dengan bermacam – macam pertanyaan dan sindiran yang
baru saja dikatakan Bu Amel, Bu Iim, dan Bu Iyos tadi.
***
Baru
saja selesai mengepak kue kering pesanan pelanggannya. Sekarang Bu Cici punya
waktu sedikit untuk istirahat sampai Naila dan Fadil pulang dari sekolah untuk menyiapkan
makan siang. Hatinya masih membatin memikirkan perbincangannya dengan Bu Amel,
Bu Iyos, dan Bu Iim kemarin. Dia mengambil ponsel nya dan iseng membaca
beberapa pesan yang dikirim suaminya. Dari sekian pesan yang masuk dari
suaminya, tidak ada satu pun pesan yang bunyinya negatif. Semuanya sama dan
begitu berulang – ulang. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu seolah
menjadi beban bagi Bu Cici.
Bu
Cici memijit tombol menu dan pesan di ponselnya. Dia mencoba mengirim SMS ke
suaminya. Ini hal yang tidak biasa dilakukannya.
“Bapak
sedang apa?”
Cukup
lama Bu Cici menunggu tapi balasan dari suaminya belum juga kelihatan. Dari
situ munculah ide. Bu Cici mencoba untuk menciptakan masalah. Yah, Bu Cici
ingin ada masalah dalam rumah tangganya. Selama ini dia merasa ada hal yang
kurang dalam rumah tangganya karena tidak ada masalah. Hidupnya berasa monoton
karena tidak ada konflik. Akhirnya dia mengirim pesan yang sama sampai lima
kali berturut – turut.
Bu
Cici merasa tidak cukup hanya dengan mengirim pesan seperti itu, akhirnya dia
kirim SMS lagi. Kali ini lebih kasar.
“Bapak
sebenernya sedang apa sih! SMS ibu gak pernah di bales! Pasti lagi main sama
janda disana ya!”. Bu Cici senyum – senyum sendiri sambil mengirim pesan itu.
Dan anehnya, sampai siang bahkan sampai Naila dan Fadil pulang belum juga ada
balasan dari Pak Anwar. Itu sedikit membuat Bu Cici kesal.
“Ternyata
Bener! Bapak seneng – seneng di Tangerang sementara ibu capek ngurus anak! Ibu
benci bapak!” Bu Cici kembali mengirim pesan.
“Ibu
semakin tahu sekarang! Pantes bapak betah di Tangerang, pasti simpanannya lebih
cantik dan seksi dari ibu kan? Bapak pikir ibu gak bisa juga berbuat seperti
itu, heh?” Pesan demi pesan terus dikirimkan Bu Cici. Hari itu waktunya dia
habiskan dengan memjit – mijit tombol ponsel untuk meng - SMS suaminya.
Sayangnya,
sampai malam tiba pun tidak ada pesan yang masuk dari Pak Anwar. Rasa curiga
yang semula hanya untuk mencari masalah pun sekarang berubah. Pikirannya tampak
kacau sekali sekarang. Bu Cici mencoba memijit tombol call. Bahkan 10 kali call
tidak di angkat oleh Pak Anwar.
“Bu
ini ada surat rapat orang tua dari sekolah. Oh ya, bantuin Naila ngerjain PR
matematika ya bu?” Naila kemudian muncul ditengah – tengah pikiran Bu Cici yang
sedang kacau.
“Taroh
saja suratnya disitu. PR nya kerjakan sama mas Fadil sana! Ibu sedang pusing!”
Bu Cici menjawabnya dengan ketus. Naila terperangah. Biasanya Bu Cici dengan
senang hati akan membantu Naila mengerjakan PR bahkan tidak perlu lagi diminta.
Naila pun mundur dan meninggalkan ibunya.
Bu
Cici masuk ke kamarnya. Dia bahkan tidak menengok atau mengingatkan Naila dan
Fadil untuk mengaji. Baginya, ada sesuatu yang lebih penting dari itu. Ini soal
rumah tangganya.
***
Sejak hari itu, Bu Cici benar – benar
berubah. Perhatiannya ke Naila dan Fadil bahkan berkurang. Dia lebih banyak
diam dan cuek. Untungnya sebagai kakak, Fadil bisa menggantikan posisi ibunya
kalau adiknya sedang manja. Yang jelas, Bu Cici menjadi lebih dingin dan kaku
sekarang.
Beberapa orderan pesanan kue
pelanggannya pun di reject oleh Bu
Cici. Biasanya dia selalu menerima meskipun dia sedang ada pesanan pelanggan
lain hari itu. Tapi kali ini lain, dia beralasan kalau sedang sakit. Hatinya
memang sakit dan membatu sekarang. Sampai detik ini Pak Anwar sama sekali tidak
membalas semua pesan dan panggilannya. Akhirnya dia mengeluarkan ponsel dari
saku bajunya. Kali ini yang dia telepon adalah Bu Amel. Dia ceritakan semuanya
soal Pak Anwar ke Bu Amel.
“Bu Cici sebagai istri berhak punya rasa
curiga, kalau aku jadi Bu Cici! Udah aku susul Pak Anwar ke Tangerang. Laki –
laki semua sama. Apalagi jauh dari istri, pasti merasa bebas melakukan apa
saja.” Itu komentar dari Bu Amel di telepon.
Bu Cici menelan ludah. Bukan pencerahan
yang Bu Cici dapat dari Bu Amel, justru itu semakin membuatnya pusing dan isi
kepalanya hampir meledak. Dia melihat jam dinding dan baru tersadar kalau hari
ini ada rapat orang tua siswa. Buru – buru dia pergi ke sekolah Naila.
***
Bu Cici terlambat datang. Rapat itu
sudah selesai. Ternyata Naila menunggu ibunya 2 jam yang lalu di sekolah.
“Ibu kemana aja sih! Masa rapatnya
selesai ibu baru datang.” Tegur Naila kesal.
“Maaf, ibu tadi sibuk di rumah. Nanti ibu
cari tahu informasi soal rapat tadi.” Kata Bu Cici.
“Sekarang aja bu, tanya sama ibunya
Sifa. Itu loh temen yang Naila pernah ceritain nangis karena bapak sama ibunya
pisah itu.” Ujar Naila dengan polosnya, padahal Sifa dan Ibunya tengah duduk
tidak jauh dari situ.
“Naila gak boleh ngomong begitu lain
kali ya! Itu tidak sopan.” Tegur Bu Cici malu.
Naila menunduk. Sifa kemudian
menghampiri dan mengajak Naila main. Bu Cici pun terpaksa mengizinkan padahal
dia sedang butuh banyak istirahat dan ingin segera pulang ke rumah.
“Ini ibunya Naila ya?” Mendadak ibunya
Sifa mendekat dan mengajak Bu Cici mengobrol.
“Iya bu betul, panggil aja Bu Cici.”
“Bu Fitri.” Mereka berdua pun
bersalaman.
“Maaf ya bu, tadi Naila lancang ngomong
begitu.” Ujar Bu Cici malu.
“Gak apa – apa bu. Memang begitu
faktanya.”
“Sifa anak yang pinter ya? Pasti
belajarnya rajin.” Bu Cici mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Sifa pinter mirip bapaknya.”
“Tapi mukanya mirip banget sama ibu
loh.”
“Banyak yang bilang begitu, tapi
wataknya persis seperti bapaknya.” Bu Cici tampak bingung. Setiap pertanyaan
selalu dikaitkan ke bapaknya.
“Kemana sekarang bapaknya Sifa Bu?”
Akhirnya Bu Cici memberanikan diri menanyakan hal itu.
“Dia di Riau.” Dijawab dengan singkat.
“Hem, jauh juga ya bu.” Gumam Bu Cici
pelan.
“Iya bu, itu alasan kenapa Sifa selalu
nangis karena sulit menemui bapaknya.”
Bu Cici mulai menangkap kalau Bu Fitri
ini hendak mengungkapkan masalahnya. “Pasti keputusan yang sangat sulit untuk
hidup seorang diri ya bu?” Bu Cici bertanya lagi.
“Itu bahkan tidak bisa di bayangkan bu.”
“Maaf, apa perceraian itu satu – satunya
pilihan ibu?”
“Tidak akan ada keluarga yang mau bercerai
bu.” Mata ibu itu sudah mulai berkaca – kaca.
“Perceraian adalah hal yang sangat
mengerikan, aku harap ibu tidak mengalami hal yang aku alami. Kasihan Naila bu.
Anak berhak bahagia dengan kehadiran orang tua yang lengkap. Bapak dan Ibunya.”
Ujar ibu itu lagi.
Bu Cici heran melihat Bu Fitri, dia
begitu mengutuk soal perceraian tapi kenapa dia sendiri malah melakukan itu?
“Lalu kenapa ibu sendiri melakukannya?”
Akhirnya Bu Cici melontarkan rasa penasarannya.
Lama Bu Fitri terdiam, “Kunci sebuah
rumah tangga adalah komitmen dan saling percaya. Dan kami lupa soal itu. Aku
dan suami bahkan sudah tidak percaya satu sama lain. Kami saling curiga dan
menuduh. Kami jadi sering bertengkar. Itu awal mulanya kami bercerai. Kami
sudah merasa pesimis untuk melanjutkan rumah tangga kami..” Ungkapnya dengan
sederet senyum yang coba dia berikan agar terlihat tegar.
Entah apa yang membuat Bu Cici lemas
mendengar penjelasan Bu Fitri tersebut. Itu seperti cambuk baginya. Apakah hal
yang dialami Bu Cici akan akan berdampak padanya? Bahkan Bu Cici tidak ingin
membayangkan hal itu.
***
Ini adalah sebuah perasaan yang sangat
sulit digambarkan. Perasaan Bu Cici campur aduk. Dia kembali mengambil ponsel
dari saku bajunya. Dibacanya beberapa pesan yang dia kirimkan ke Pak Anwar beberapa
hari lalu.
“Apa yang sudah aku lakukan selama ini?”
Ujarnya dalam hati. Bu Cici menyadari kalau semua pesan yang dia kirimkan ke
Pak Anwar isinya hanya prasangka dan kebodohan dirinya. Tanpa pikir panjang,
dia mencoba mengirim SMS lagi ke suaminya. Kali ini dia betul – betul berharap
akan ada balasan.
“Bapak.. Maafkan ibu. Ibu salah. Bapak
gak marah kan?”
Dengan hati berdebar – debar Bu Cici
menunggu balasan suaminya.
Tidak lama ponsel Bu Cici pun bergetar.
Tanda pesan masuk. Buru – buru Bu Cici membuka pesan itu. Ternyata memang dari
Pak Anwar.
“Ibu sudah sembuh?”
Itu adalah tiga kata ajaib jawaban Pak
Anwar setelah beberapa hari ini dia menghilang. Benar – benar tidak ada lagi
pesan yang masuk dari suaminya. Bu Cici terenyuh. Pelan – pelan dia membenarkan
perkataan suaminya. Yah, beberapa hari ini dia sakit. Pikirannya terguncang.
Apa yang sudah dia lakukan adalah bukan Bu Cici yang dikenal Pak Anwar sebagai
istrinya. Mungkin itu alasan Pak Anwar tidak membalasnya dan menganggapnya
sakit. Dengan tiga kata itu, Bu Cici paham dan benar – benar mengakui
kesalahannya. Bahkan dia meneteskan air mata karena rasa bersalahnya itu.
“Bapak memaafkan ibu kan?” Bu Cici meng
– SMS lagi.
“Dengan satu syarat!” Dibalas oleh Pak Anwar
“Syarat apa pak?” Bu Cici penasaran.
“Bapak mau Naila punya adik.”
Bu Cici tersentak dan tersenyum bahagia.
Dia semakin sayang dan mencintai suaminya.
SELESAI
*Note : Ini adalah kisah nyata dari seorang kerabat
debat. Oleh penulis, nama pelaku disamarkan.
Komentar
Posting Komentar