DILEMA HUJAN


            Setiap kali aku melihat hujan, aku seperti melihat ruh ibu berdiri disampingku. Hatiku berkata bahwa ibu tidak jauh dariku. Ibu tengah tersenyum dan memelukku hangat. Maka ketika hujan, aku akan berdiri di dekat jendela untuk melihatnya. Seperti hari ini, hujan datang pada pertengahan malam. Aku segera terbangun dan membuka jendela, membiarkan ragaku berdiri dan menatapnya sepenuh hati. Membiarkan angin dingin menampar tubuhku yang masih mengenakan piyama tipis. Hujannnya sangat deras dengan angin ribut yang cukup membisingkan telinga. Tapi aku sama sekali tidak takut, karena ibu yang akan melindungiku.
            Kilat menyambar, cahayanya seperti lidah api di atas langit. Disusul dengan suara gemuruh petir yang memekakan telingaku. Aku menutup telinga rapat – rapat. Tapi sekali lagi aku tidak takut dengan apa pun. Karena ibu akan ada di sampingku saat ini.
            “Odi! Apa kau terbangun?” Tiba – tiba ayah muncul dan masuk kamarku. Aku menatapnya datar. Jujur, aku tidak suka dengan ayah. Selama ini ayah selalu bersikap kasar pada ibu.
            “Tak usah pedulikan aku.”
            Ayah mendekap dan memelukku dari belakang, kemudian berbisik “Berhentilah menatap hujan!”.
            Aku tersentak dengan ucapan ayah. Apa maksudnya dia berkata seperti itu? Melarangku untuk menatap hujan, sama hal nya dia melarangku dekat dengan ibu. “Tidak mungkin!” Kataku dengan nada tinggi sambil menyingkirkan tangan ayah yang ada di pundakku.
            “Ayah tidak mau kamu berhalusinasi dengan ibu. Ayah tahu kamu merindukan ibu. Begitupun ayah, tapi biarlah ibu tenang di alam sana.” Ujar ayah padaku.
            “Aku tidak yakin dengan ucapan ayah.” Aku menatap ayah tajam.
Aku tahu apa yang dikatakannya sama sekali penuh dengan kebohongan. Selama ini siapa yang sering membuat ibu menangis? Ayah! Selama ini siapa yang sering ibu keluhkan karena sifatnya yang tempramental? Ayah! Selama ini siapa yang sering ibu adukan dan tangisi saat salat malam? Ayah! Sekarang ayah berkata bahwa dia merindukannya? Munafik!
            Selanjutnya aku lebih memilih berbaring di tempat tidur kemudian menarik selimutku rapat – rapat. Ayah duduk ditempat tidur ku. “Odi, maafkan ayah. Ayah tahu kamu pasti belum bisa menerima kepergian ibu.” Ayah berkata kepadaku dengan nada yang lembut. Di balik selimut aku memejamkan mataku. “Ayah pergilah! Pergi!” Ujar ku dalam hati.
            “Sekarang tidurlah! Hujan pun sudah reda.” Kata ayah kemudian bergerak pergi meninggalkanku.
            “Tunggu!” Teriakku kemudian menyingkirkan selimut dari tubuhku.
            Ayah menghentikan langkahnya yang hampir keluar kemudian kembali berbalik , “Ada apa?”
            “Selama ini kecurigaanku terjawab.” Ujarku, kemudian duduk menghadap ayah yang berdiri dekat denganku.
Ayah sedikit terkejut dengan apa yang kukatakan, “Apa maksudmu, Odi?” Rutuk ayah.
            “Hah, selama ini ayah berpura – pura baik terhadapku. Nyatanya itu hanyalah cara ayah untuk menutupi kesalahan ayah?” Seruku kembali berkata dengan nada tinggi. Nada yang seharusnya tidak dilakukan anak seusiaku saat berbicara dengan ayah kandungnya.
            “Apa maksudnya. Tolong jelaskan pada ayah!” Ayah berkata seolah – olah tidak paham dengan ucapanku, padahal aku tahu itu hanyalah pura – pura.
            “Tentang kepergian ibu. Aku tahu, ibu semata – mata tidak akan melompat dari gedung apartemen ini tanpa sebab. Ibu pasti punya alasan kuat mengapa harus bunuh diri. Dan itu karena Ayah!!”
            Ayah sangat terkejut dengan ucapanku. Matanya melebar kemudian diam mematung, sepertinya tengah memikirkan suatu hal yang rumit. “Berhentilah bicara tentang kepergian ibu lagi. Itu membuka luka ayah.” Itu kata – kata yang diucapkan oleh ayah. Padahal yang aku inginkan adalah sebuah pengakuan dari ayah bahwa dialah yang telah menyebabkan ibu meninggal. Setidaknya Itu sedikit mengobati rasa sedih hatiku.
            “Dan tolong berhentilah berbohong padaku ayah. Menurut ayah selama ini aku tidak tahu kalau dulu ayah dan ibu sering sekali bertengkar dan ayah tidak segan menampar ibu. Ayah sering membuat ibu menangis dan bersedih. Aku selalu berpura – pura tertidur saat ibu masuk kamarku kemudian menangis, dan aku ingat betul apa yang sering ibu katakan dalam tangisannya. Odi, bantu ibu bujuk ayah mu. Ini untuk kebaikan kita bersama. Itulah kalimat yang sering diucapkan oleh ibu. Aku berpura – pura bodoh saat itu, padahal aku tahu yang ibu maksud adalah membujuk ayah untuk berubah dari sikap ayah yang tempramental dan selalu sibuk dengan pekerjaan ayah.”
            Ayah kembali dikejutkan oleh kata – kataku. Bibirnya bergetar karena sulit untuk mengeja apa yang harus dikatakan untuk membela dirinya. Sekarang dia tertangkap basah!
 “Kau berpikir seperti itu, odi?” Seru ayah padaku.
Aku tersenyum. Mungkin sekarang aku telah berhasil membuka kedok ayah dan membahagiakan ibu di alam sana. Mungkin pula ini dendam ibu yang harus aku tebus. Yaitu mengusut dibalik kematiannya. Hati kecilku berkata ibu tidak seolah – olah melompat karena hendak bunuh diri. Pasti ada suatu hal dibalik misteri ini. Aku bangkit dari tempat tidurku dan kembali membuka gorden jendela.
“Ayah lihatlah hujan ini. Tentu ayah masih ingat dan tahu kenapa aku menyukai hujan?” Aku bertanya pada ayah yang masih tertunduk.
“Ayah tahu semuanya.”
“Bagus, hujan lah yang mengiringi kematian ibu. Waktu itu hujan deras dengan gemuruh petir yang menakutkan kemudian ibu melompat dari apartemen ini. Ayah pasti tahu kan? Bagaimana sakitnya hatiku? Aku mencintai ibu lebih dari apa pun. Bahkan kalau aku harus memilih antara ayah dan ibu. Ibu lah pilihanku! Tapi kenapa ibu harus pergi secepat itu! Kenapa bukan ayah saja yang pergi!” Seruku dengan emosi yang tidak terkontrol.
“Cukup Odi! Hentikan semuanya!” Ayah berrdiri dan menuding tajam padaku.
Bagus! Ini yang aku ingin kan. Aku ingin ayah marah dan memukulku. Seperti hal dulu yang sering dia lakukan pada ibu. Aku berjalan memutar mengelilingi ayah yang tengah berdiri, tersenyum sinis dan sesekali mengeluakan suara tawa kecil yang mungkin kedengarannya sangat menjengkelkan. “Ayah marah? Silahkan, aku tidak takut!”
Ayah duduk di tempat tidurku lagi. Mengatur nafas dan berbicara setenang mungkin padaku, “Aku tahu apa yang ada di pikiran kamu sekarang. Ayah bisa baca semua itu. Kamu berkeyakinan kalau ayah lah penyebab kematian ibu.”
“Lantas ayah menuduh orang lain penyebabnya? Itukah maksud ayah berbicara seperti itu? Timpalku.
“Ayah tidak menuduh siapa – siapa. Hanya saja ayah ingin kita tidak lagi membahas kematian ibu. Hal itu membuat ayah tidak bisa berpikir dan memaafkan diri ayah.” Ayah berujar tanpa menatapku, padahal aku tengah memperhatikannya tanpa berkedip.
Sejenak suasana hening. Aku sendiri bingung harus berbicara apa lagi padanya. Kemudian tiba – tiba saja muncul keanehan di kamarku. Lampu kamarku tiba – tiba padam tanpa ada yang mematikan. Setelah itu kembali menyala dan padam lagi begitu seterusnya. Bahkan ada angin kuat yang masuk dalam kamarku. Membuat gorden terhempas membawa aura dingin. Aku terkesiap melihat itu. Entah apa yang mengatur imajinasiku bahwa itu adalah ibu. Ibulah yang mematikan lampu kamar dan menyalakannya kembali dan ibulah yang membawa angin itu.
“Ibu! Itu Ibu! Ibu datang kepadaku! Ibu datang! Ibu................!!!” Aku berteriak sekencang mungkin tanpa peduli bahwa saat itu aku berada dalam kamar. Ayah yang melihatku terkejut sekali.
“Odi tenanglah! Tenang Odi! Tenang!” Ayah pun berteriak, dia berusaha menghalang – halangiku. Entah apa maunya sekarang. Aku tak peduli dengannya. Bahkan aku mendorong ayah sampai terjatuh. Aku berlari ke jendela dan membukanya. Aku berteriak, “Ibu........!!!” . Dan sekarang aku merasakan terpaan hujan yang masuk ke dalam kamarku. Itu membuat lantai kamarku basah dan licin.
Aku berusaha mengangkat kaki diatas jendela. Tanpa peduli aku telah berada pada ketinggian lima ribu kaki dari kamar apartemen ku. Tanpa peduli mungkin aku terpeleset dan jatuh dari apartemen ini. Aku berteriak sekeras mungkin, “Ibu..........! kembalilah...........!!”
Arrghhh! Sial, lagi – lagi ayah menghalangiku. Dia menarikku secara paksa. Menggendongku dan melemparku diatas tempat tidur. Jelas aku marah, kesal, dan tidak bisa kumaafkan atas apa yang sudah dia lakukan padaku.
“Diam disitu! Jangan ulangi lagi! Mengerti kamu!” Gertak ayah.
 Ekspresi itu! Ekspresi itu lah yang dulu pernah ayah berikan saat dirinya marah pada ibu. Dan sekarang dia melakukannya padaku. Apakah dia juga hendak membunuhku? Aku bangkit dan menantangnya. Mencoba mendorongnya kembali dan menyingkir dariku. Tapi ayah malah menamparku.
“Maafkan ayah Odi. Ayah terpaksa melakukannya.” Gumam ayah.
Padahal saat itu aku tidak ingin menangis, tapi air mata ini tiba – tiba mengalir dari pelupuk mataku. Air mataku terjatuh dan aku terisak. Ayah mendekat dan memelukku. “Maafkan ayah!” dan ayah pun menangis. Kami berdua menangis. Mungkin ayah menangis karena menamparku, tapi nyatanya aku tidak punya alasan untuk menangis.
“Pergilah dari kamarku!” Aku berkata pada ayah. Lantas aku menepis pelukannya dari tubuhku.
“Tunggulah disini, ada suatu hal yang sangat penting yang harus kamu ketahui.” Tiba – tiba ayah berkata hal itu dengan serius. Namun aku tak menghiraukannya dan lebih memalingkan wajahku. Ayah kemudian pergi keluar dari kamarku.
Tidak menunggu lama ayah kembali. Kembali dengan sebuah kertas yang belum pernah aku lihat sebelumnya kertas itu.
“Sekarang kita bicara dengan kepala dingin.” Seru ayah seraya duduk ditempat tidurku yang dingin karena AC dan kemudian aku menyusulnya duduk.
“Mungkin ini alasan kenapa saat itu ayah seringkali bertengkar dengan ibu.” Kata ayah sambil menyodorkan kertas itu padaku. Aku mengambilnya dan membaca pelan – pelan.
Ini semacam surat diagnosa penyakit atau apa yang aku sendiri tidak mengerti. Aku bertanya – tanya dalam hati mengenai surat itu.
“Ini apa?” kataku datar.
“Maafkan aku Odi, selama ini ayah tidak pernah menceritakan hal itu padamu. Ayah tidak pernah membencimu dan ayah tidak pernah berlaku jahat pada ibu.”
“Langsung saja, jangan berbelit – belit!”
“Itu diagnosa penyakitmu!”
“Apa!”
 “Ayah dan ibu sudah memeriksakan kamu pada psikiater. Kamu mengalami gangguan kejiwaan. Dan ibu menginginkan agar kamu ditempatkan di rumah sakit jiwa karena ibu malu. Ibu memaksa ayah agar kamu untuk beberapa saat berada di rumah sakit itu sampai kamu sembuh. Tapi ayah menolaknya. Ayah menolak keras ide ibu. Ayah tidak menyetujui kalau kamu harus menginap di tempat itu. Itulah Odi, itulah alasan ayah sering bertengkar dengan ibu.”
Hah! Apa mungkin? Apa mungkin ibu menginginkan aku ditempatkan di tempat seperti itu. Pikiranku berkecamuk keras. Bahkan hampir tidak bisa berpikir jernih. Aku melihat ayah dengan tatapan kosong. Dan mencoba setenang mungkin. Ini pasti tidak benar!
“Lalu yang membuat ibu bunuh diri?” Ujarku.
“Itu karena....” Ayah tidak melanjutkan kata – katanya. Sepertinya hal itu sangat sulit dikatakan ayah. Apakah ada rahasia yang selama ini disembunyikannya?
“Itu karena kamu, Odi!”
Pernyataan itu seperti sebongkah batu yang meremukan tulang – tulangku. Dengan entengnya ayah bilang kalau ibu meninggal karenaku? Dasar bodoh!
 “Dan ayah sekarang mau menuduhku sebagai pembunuh ibu?” Seruku marah.
“Memang itu kenyataannya, waktu itu kau hilang akal dan mengamuk. Dan kamu, Odi! Kamulah yang mendorong ibu dari jendela lantai apartemen ini hingga terjatuh. Ibu tidak semata – mata bunuh diri. Tapi kamu lah yang mendorongya dan ibu meninggal. Maaf! Karena ayah harus menceritakan kenyataan pahit ini”.
Aku! Akulah pembunuh ibu! Aku mengalami gangguan kejiwaan? Rasanya lucu sekali? Kepalaku rasanya seperti terbang. Pikiranku entah berlabuh kemana. Mulut ini sulit untuk mencerna kata – kata. Aku tidak bisa membaca setiap objek yang ada di depanku. Bahkan orang yang didepanku ini entah dari mana datangnya? Rasanya dia sangat asing bagiku.
Anehnya aku merasakan sesuatu yang aneh terjadi, orang yang berada di depanku ini tiba – tiba berubah menjadi badut. Mukanya lucu sekali. Aku geli melihatnya. Aku tak bisa menahan tawaku. Akhirnya aku tertawa lepas. Tertawa melihat badut itu menggodaku. Aku menari dan melompat seperti kangguru.
Disisi lain, aku mendengar sayup – sayup suara yang memanggil namaku berulang – ulang. Dia berteriak dan terus memanggil. Tapi aku tak peduli, aku terus bermain dengan badut itu. Badut yang sangat lucu! Dan badut itu kemudian memberontak. Dia marah. Dia mengikatku. Mengikat kedua tangan dan kakiku dikamar. Tenaganya kuat sekali seperti Tyson. Aku pun kalah dan terikat di dalam kamar.
***
            Aku berada di dalam mobil sementara ayah menyetir. Entah kemana ayah akan membawaku. Aku hanya terfokus pada kaca mobil melihat rintikan hujan dan pepohonan cemara yang ku lewati.
            “Tangan kamu sakit Odi? Maaf tadi ayah mengikatmu di kamar. “ Kata ayah. Aku diam tidak menjawab. Pikiranku melayang jauh.
            “Ayah akan membawamu ke tempat yang dulu disarankan oleh ibu! Kau memang harus berada di situ, Odi.” Seru ayah kemudian tangan kirinya mengelus rambutku.
            Dan aku tetap tidak menggubris omongannya. Melihat ke jendela bagiku jauh lebih mengasyikan. Aku bisa melihat pohon, rumah, jalan raya dan berharap akan melihat ibu disana.
            “Sebentar lagi kita akan sampai!” Lanjut ayah. Kalimat yang di ucapkan ayah itu rasanya menggelitik hatiku. Lucu sekali! Aku tersenyum dan tertawa lepas! Mungkin kedengarannnya tidak lucu. Tapi entahlah, saat itu aku tertawa bahkan terbahak – bahak dihadapan ayah. Ayah hanya diam, bahkan tidak tersenyum apalagi tertawa. “Bisa katakan sekali lagi?” Ujarku kemudian kembali tertawa. Ayah hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecut.
            Setelah itu ayah membelokkan mobil dan berhenti disebuah parkiran. Kami berhenti di sebuah tempat mirip rumah sakit yang besar tapi tampak sepi. Aku dan ayah turun kemudian menuju pintu masuk. Ayah berbincang – bincang dengan salah seorang petugas kemudian petugas itu menggiring kami ke sebuah ruangan. Dan kami pun kemudian masuk.
            Salah seorang dokter menyambut kami ramah dan menyilahkan kami duduk. Ayah berbicara sangat serius sekali. Tapi perhatianku justru jatuh pada akuarium disana. Akuarium besar dengan sejumlah ikan cantik yang warna – warni mirip nemo kartun favoritku. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang ayah bicarakan dengan dokter itu. Namun tiba – tiba ayah memanggil namaku.
            “Odi mau ya?” Tanya ayah.
            “Hah? Mau apa?” kataku benar – benar tidak mengerti dengan ucapannya.
            Dokter itu kemudian angkat bicara, “Untuk sementara Odi tinggal disini. Jangan khawatir ya? Disini juga banyak teman, ada kakak – kakak suster, tempat bermain, kolam renang, dan masih banyak lagi.”
            “Disini? Kau gila? Ini kan rumah sakit, aku tidak sakit sama sekali!” Kataku keras.
            Ayah terperanjat kaget dengan ucapku, “Jaga mulutmu, Odi!”
            “Sudah Pak biarkan saja.” Ucap dokter itu.
            “Oh jadi ini mau ayah? Ayah berharap aku tinggal disini. Dengan kata lain ayah mengusirku. Begitu maksud ayah rupanya.” Pekikku semakin marah.
            “Bukan begitu. Memang hal ini harus ayah lakukan. Ini merupakan rencana ayah dan ibu. Tapi waktu itu ayah selalu menolaknya. Tapi sekarang ayah tidak punya cara lain. Ayah tidak ingin ada orang lain lagi yang terluka.”
            Apa sebenarnya maksud ayah. Ini gila! Dia bilang tidak ingin ada orang lain yang terluka?
            “Apa maksud ucapan ayah, hah! kapan aku menyakiti orang lain? Dasar pembohong!”
            “Kau bilang kapan? Kamu lah satu – satunya orang yang membunuh ibu? Kamu yang mendorong ibu jatuh dari atas apartemen. Aku terkesiap keras dengan ucapan ayah barusan.
            “Tidak...........!!!!” Aku berteriak histeris. Aku benci ayah. Aku benci ayah yang selalu menyalahkan aku. Aku benci ayah yang suka berlaku kasar pada ibu. Aku berdiri dan lari dari ruangan itu. Lari sekencang mungkin seperti kilat. Dibelakang aku melihat ayah mengejarku juga beberapa petugas dari rumah sakit itu. Aku terus dan terus berlari. Bahkan berhasil mencapai pintu keluar. Ternyata diluar hujan deras sekali. Aku tak peduli apa yang ada didepan atau samping kanan kiriku, aku menyebrang dan menyusuri jalan raya.
            Saat itulah aku merasa tubuhku dihantam oleh benda yang sangat keras. Aku terpental jauh beberapa meter. Tubuhku mati rasa. Tulang – tulang rasanya patah dan hancur. Entah apa yang terjadi saat itu. Sekarang aku merasa jasadku tidak seperti dulu. Aku merasa diriku berada dalam alam yang berbeda. Apakah ini yang dimaksud akhir dari sebuah kehidupan? Akhir dari sebuah misteri kematian ibu? Yah, ibu! Setelah itu ibu datang dan menjemputku. Kami pergi berdua meninggalkan ayah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman CPNS Dosen 2024: Titik Akhir, Awal Baru

KEUNIKAN YANG SAYA TEMUKAN DI INGGRIS

PENGALAMAN DAN TIPS UNTUK IELTS