JIN SUNAT


Perbincangan itu mungkin akan berbuntut panjang. Memang sangat tidak mudah membujuk orang yang berhati dingin dan keras kepala. Segala cara dilakukan namun hasil nya nihil, tetap  saja membantah, tapi mungkin kali ini lain. Pak Ginanjar dan Bu Wiwi tampak lebih keras dan bisa dibilang akan ada sedikit pengaruhnya. Dulu mungkin Bu Wiwi akan mencegah dan memarahi agar Pak Ginanjar tidak berlaku keras terhadap Basrul, anak semata wayangnya itu. Sehingga, Pak Ginanjar selalu mengurungkan dan menahan amarah yang mungkin sudah meledak – ledak di kepalanya. Namun setelah masalah itu sudah semakin menjamur,  Pak Ginanjar yang berbalik memarahi Bu Wiwi yang selama ini selalu menjadi pelindung Basrul.
“Karena ibu juga yang terlalu memanjakan dia, terlalu menuruti apa yang dia mau. Sekarang begini kan jadinya? Kita juga yang repot. Bapak malu Bu sebagai kepala kuwu disini? Kapan Basrul mau berubah! Sampai kapan seperti ini terus?”. Itu kata – kata terakhir yang di ucapkan Pak Ginanjar pada istri tercintanya, Bu wiwi.
Oleh karena itu sekarang Bu Wiwi tidak lagi membela Basrul melainkan mendukung seratus persen Pak Ginanjar. Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Perbincangan di awali oleh Pak Ginanjar yang mencoba membuka dan menunjukan titik terang masalahnya pada Basrul. Menceritakan bagaimana malunya karena warga dusun selalu membicarakannya, bahkan menjadi bahan gunjingan.
“Aku heran sama bapak, aku yang jadi bahan omongan kok malah bapak yang merasa malu sih? Bapak tenang saja. Bagaimana pun bapak maksa, aku tetap tidak mau.” Seru basrul menimpali omongan Pak Ginanjar dengan enteng. Dia tengah asyik memutar – mutar rubik mainannya.
“Basrul! Diam kamu! Setiap dikasih tahu pasti membantah, kalau kelakuan kamu seperti ini terus, ibu nyesel punya anak!” Tegas Bu Wiwi dengan sorot matanya yang menyala.
Basrul tercenung, baru melihat ibu kandungnya yang selama ini selalu membela dan berpihak padanya berbicara kasar seperti itu. “Oh jadi sekarang ibu sudah berpihak pada bapak, tidak mau membela Basrul lagi?” Basrul angkat bicara lagi juga tak kalah dengan sorotan matanya yang menyala seperti bola lampu pijar.
“Kamu tidak merasa malu sama keluarga? Teman – temanmu, tetangga, warga, dan semuanya yang heboh membicarakan kamu!” Ujar Pak Ginanjar.
“Ti - dak!”
“Lalu kapan mau kamu?” Tanya Pak Ginanjar lagi.
“Aku kan sudah sering bilang sama bapak, aku mau disunat tapi dengan bantuan jin! Ada temanku yang disunat oleh jin sunat. Ketika dia terbangun dari tidur, tanpa terasa anu nya sudah seperti orang disunat tanpa harus melewati operasinya dahulu.”
 “Jan, Jin, jan, Jin, kamu ini waras atau tidak sih? kamu kira bapak punya jin yang mau nyunati kamu, heh?” Pak Ginanjar menggelengkan kepalanya kesal.
“Kamu itu sudah SMP Srul, bahkan sebentar lagi SMA. Malu sama teman – teman mu yang laki – laki , mereka semua sudah disunat. Cuma kamu sendiri yang belum disunat. Ibu dan bapak malu sekali, malu punya anak laki – laki yang penakut.” Kata ibu Wiwi.
“Aku tidak takut, hanya saja belum siap. Bukankah sunat itu harus dilakoni dengan hati yang ikhlas dan kesiapan? Ibu mau ya kalau sesuatu yang buruk terjadi saat aku disunat?”  Sergah Basrul tak mau kalah dengan ibunya.
“Tapi sampai kapan kamu punya kesiapan dan hati yang ikhlas? Atau mau nunggu sampai kamu kakek – kakek, atau nunggu sampai ibu meninggal baru mau disunat. Itu mau kamu?”. Timpal Bu Wiwi.
“Bapakmu ini kan Pak Kuwu, orang terpandang di dusun. Imej bapak dan ibu jelek gara – gara kamu yang susah di suruh sunat”
“Jadi Bapak lebih mementingkan nama baik, itu alasan Bapak terus memaksa Basrul, heh!”
“Bukan hanya nama baik bapak, tapi juga seluruh keluarga besar kita!”
“Bapak capek ngadepin kamu Srul, Bapak didik kamu biar jadi anak yang pemberani, biar kalau besar bisa jadi orang minimal seperti Bapak bisa jadi Pak Kuwu. Tapi nyali kamu kecil! Sama jarum suntik aja takutnya setengah mati.”
Basrul terdiam, sorot matanya mulai teduh. Pak Ginanjar segera ambil hal itu untuk membujuknya kembali, “Ayolah Basrul, sekarang masih belum terlambat, bapak dan ibu, mau memaafkan kamu kalau kamu mau disunat sekarang. Mau ya?”
Dengan tarikan nafas yang panjang, Basrul angkat bicara, “Baiklah Pak, Bu, aku mau disunat.“ Pak Ginanjar dan Bu Wiwi akhirnya bisa bernafas lega. Akhirnya putra semata wayangnya yang duduk di bangku 3 SMP itu sekarang mau juga dibujuk untuk sunat. Langkah selanjutnya adalah mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk perayaan khitanan itu. Tentunya bukan  perayaan biasa. Sebagai Pak kuwu, Pak Ginanjar harus menjaga nama  baiknya.
***
Perayaan yang bisa dibilang tidak kecil, melainkan ‘Wah’ untuk ukuran dusun disana. Semua warga tampak kagum dan menyambut perayaan khitanan tersebut. Tampaknya warga memang sudah menduga sebelumnya kalau perayaan ini akan menjadi yang terbesar di dusun. Siapa yang tidak kenal Pak Ginanjar, dia adalah pak kuwu sekaligus orang terpandang di dusun. Tidak heran jika perayaan khitanan Basrul putra semata wayangnya akan semewah ini.
Kurang lebih 5 tenda besar menjulang diatas langit mengelilingi rumah Pak Ginanjar. Lebih dari 100 kursi berjejer rapih serta dekorasi cantik yang menyulap rumah  Pak Ginanjar bak istana raja. Sebuah panggung diletakan di depan menghadap para tamu. Sekitar 5 penyanyi yang disewa yang akan menghibur para tamu dengan lagu – lagu khas yang sedang trend saat itu. Untuk makanannya pun bervariasi, tamu boleh memilih sesuka hati. Semua terlihat menggiurkan lidah. Dan terakhir yang tak kalah penting adalah angsa besar bersayap dengan bulu – bulu dari kertas yang mereka letakkan di tengah adalah tempat para tamu meletakkan amplop yang tentunya berisi uang.
Pukul 7 pagi, rencananya mantri sunat akan tiba. Basrul sudah bersiap – siap dengan memakai sarung dan baju koko yang selaras dengan baju Pak Ginanjar serta Bu Wiwi. Sengaja mereka membeli baju yang seragam. Anehnya, mantri sunat belum datang juga sampai sekarang. Jam sudah menunjukan pukul 8 lewat.
“Mana sih mantrinya, kalau terlalu siang nanti banyak orang yang melihat. Aku kan malu?” Gumam Basrul mondar – mandir di serambi rumah.
“Kamu ini aneh Srul, orang sunat kok malu!” Ibu Wiwi menimpali celoteh anaknya.
Tiba – tiba Pak Ginanjar muncul, “Basrul, ayo siap – siap, mantrinya sudah datang.”
Semula perasaan Basrul biasa saja namun sekarang dilihat tampak sangat gugup, butiran keringat diwajahnya mulai tampak. Ibu Wiwi yang melihatnya pun tampak bingung. “Kamu pasti bisa Srul, santai saja ya? Tenang.” Hibur Bu Wiwi.
“Ayo Basrul!” ajak Pak Ginanjar.
Basrul memasuki sebuah ruangan dimana mantri sunat sudah menunggu, peralatan sunat berjejer dimeja. Jarum suntik, perban, gunting, jarum jahit, dan aroma alkohol yang menusuk. Pak Ginanjar dan Bu wiwi menunggu di luar karena Basrul melarang mereka masuk begitupun dengan sanak saudara atau warga yang hendak menyaksikan. Hanya mantri dan pembantu mantri itu yang ada dalam ruangan.
“Bu, Pak, Basrul malu kalau dilihat sama orang, juga sama bapak dan ibu. Basrul kan sudah besar bukan anak – anak lagi. Jadi tolong suruh semuanya agar tunggu diluar saja. Biar aku dan mantri yang didalam.” Bisik Basrul sebelum disunat. Pak Ginanjar dan Bu Wiwi tak bisa bilang apa – apa selain menyetujui kehendak anaknya itu. Basrul pun menutup pintunya rapat – rapat.
Dari raut wajahnya, tampak Pak Ginanjar dan Bu Wiwi sangat khawatir. Mereka takut suatu hal terjadi pada Basul. Cukup lama proses menyunat Basrul berlangsung, sementara di luar warga sudah ada yang tengah menunggu aba – aba untuk proses penyembelihan ayam yang biasa dilakukan warga persis setelah mantri sunat sudah memotong anu nya anak.
“Kang Aris, disembelih saja ayamnya, kemungkinan Basrul juga sudah di sunat. Basrul melarang kita masuk soalnya malu katanya, maklum dia kan sudah kelas 3 SMP.” Pinta Bu Wiwi pada Kang Aris. “Oh ya sudah kalau begitu.” Jawab Kang Aris kemudian pergi.
Karena keterlambatan mantri sunat yang datang itu membuat acara menjadi cukup runyam. Para tamu sudah hadir, sementara Basrul yang disunat belum selesai karena memang proses menyunat itu cukup memakan waktu terlebih lagi bagi Basrul yang sudah bukan anak – anak lagi. Itu membuat Pak Ginanjar dan Bu Wiwi bergegas menyambut para tamu dan meninggalkan Basrul seorang diri.
“Mana Basrul nya Bu?” tanya salah seorang tamu.
“Ada Bu, lagi disunat sekarang. Soalnya mantrinya terlambat datang.” Jawab Bu Wiwi kemudian menyalami tamunya dan seramah mungkin dengan mereka.
“Oh begitu ya. Meriah sekali Bu acaranya, pasti mahal yah?” Ujar  tamu itu lagi pada Bu Wiwi.
“Yah begitulah, maklum ini kan perayaan anak kita satu – satunya.” Jawab Bu Wiwi. Kemudian tamu itu pun beranjak pergi.
1 jam kemudian muncul Basrul dengan memakai sarung dan jalannya agak diseret – seret.  Mukanya tampak berseri – seri.
“Ibu! Bapak!” Teriak Basrul.
“Sudah selesai Srul, mana mantrinya.” Tanya ibu.
“Loh belum kesini? Tadi katanya mau cari bapak sama ibu, mungkin sekarang sudah pulang.” Jawab Basrul.
“Kok malah pulang sih, aneh. Mungkin harusnya tadi bapak tidak ninggalin Basrul ya Bu?” Ujar Pak Ginanjar.
“Ya sudah lah, yang penting kita kan sudah bayar uang sunatnya, Pak!”
“Pak aku masuk kedalam saja, biar bapak ma ibu yang diluar. Aku malu!” Pinta Basrul.
“Ya sudah terserah kamu lah!”
Seperginya Basrul Pak Ginanjar dan Bu Wiwi sibuk menyalami tamu tamunya yang mulai berdatangan. Tampaknya para tamu puas dengan pesta itu. Selain makanannya enak, mereka pun di hibur dengan penyanyi lokal yang membuat suasana makan mereka semakin meriah. Beberapa orang tua ada yang membawa anaknya. Mungkin itu salah satu trik mereka agar bisa mencicipi lebih makanannya. Selain makanan utama, Bu Wiwi menyiapkan es krim, es cendol, siomay, es buah, dan lain lain untuk memanjakan para tamunya.
Sesekali Pak Ginanjar dan Bu wiwi melirik tamu – tamunya itu. Memperhatikan gerak – gerik para tamunya. Khawatir kalau tamu yang datang tidak memasukan amplop di angsa besar yang telah disediakan. Bu Wiwi malah sempat menghitung berapa jumlah amplop yang sudah masuk kedalam angsa besar itu. Mereka mengundang lebih dari 100 tamu di perayaan itu.
Rupanya  memang benar apa yang dikhawatirkan terjadi, salah seorang tamu yang tak lain adalah tetangganya sendiri, Kang Walim tidak memasukan amplop seusai makan. Bu wiwi yang menyadari hal itu lebih dulu segera melapor pada Pak Ginanjar.
 “Pak lihat Kang Walim nyelonong aja keluar tidak memasukan amplop?” Seru Bu Wiwi berbisik tajam pada Pak Ginanjar. “Yang benar? Ya sudah nanti Bapak telfon si Norman. Sejurus kemudian Pak Ginanjar mengeluarkan telpon genggamnya dan menelfon Norman.
“Norman, tolong kamu ke rumah Kang Walim, tanyakan apa dia sudah memasukan amplop atau belum di tempat perayaan khitanannya Basrul.”
“Apa? Oh Ya, siap Pak Kuwu laksanakan!” Ujar Norman yang merupakan suruhan dan orang kepercaan Pak Ginanjar sebagai kuwu.
“Warga disini benar – benar mengambilkan kesempatan di acara ini Bu, kalau banyak orang yang seperti Kang Walim. Bisa rugi kita? Rencana kita pasti gagal!”
“Jangan bilang begitu Pak, Ibu takut.” Ujar Bu Wiwi.
Untuk selanjutnya Bu wiwi dan Pak Ginanjar lebih awas lagi memperhatikan para tamunya. Menghitung – hitung berapa jumlah amplop yang sudah masuk. Lain hal nya dengan Basrul yang malah asyik menonton TV. Sama sekali tidak peduli dengan kekhawatiran kedua orang tuanya.
***
Akhirnya acara khitanan Basrul pun selesai. Para tamu sepertinya sudah tidak ada yang  datang lagi. Begitu pun dengan penyanyi yang memeriahkan panggung. Mereka sudah berkemas dan pulang. Tenda – tenda sudah di turunkan. Semua makanan habis tidak tersisa. Anehnya, Raut wajah Bu Wiwi dan Pak Ginanjar tampak tidak bersahabat, entah apa yang membuatnya seperti itu.
“Pak, ibu sungguh tidak yakin dengan apa yang terjadi sekarang!” Lirih Bu Wiwi pada Pak Ginanjar. Mereka berada di ruang tamu.
“Ibu sih tidak menurut dengan omongan Bapak, begini kan jadinya.” Jawab Pak Ginanjar ketus.
“Lantas mau gimana lagi sih Pak, Bapak mau kalau kita jadi bahan omongan warga lagi gara – gara kita  buat perayaan Basrul yang kecil – kecilan. Dari dulu keluarga kita sering jadi omongan karena Basrul yang tidak pernah mau sunat, mau taroh dimana muka Bapak sebagai kuwu, orang yang disegani warga karena keluarga yang terkaya di dusun?”
Pak Ginanjar diam, tidak merespon perkataan istrinya tersebut. Pernyataan itu membuatnya menelan ludah.
“Kalau kita buat perayaan semewah ini kan setidaknya bisa menutupi rasa malu kita Pak, begitu maksud Ibu?” Lanjut Bu wiwi.
“Tapi sebetulnya Bapak kurang setuju waktu kita kemarin ke rentenir untuk pinjam uang Bu? Kita kan sudah menggadaikan sawah kita. Selebihnya, nanti bapak cari pinjaman ke teman - teman bapak. Tapi ibu terus saja memaksa cari pinjaman ke Pak Abdul.”
“Ya sudahlah, sekarang kita berdoa saja semoga didalam angsa ini bisa mengobati rasa takut kita.”
“Tapi feeling bapak jumlah uang di dalam sini tidak seberapa dengan jumlah uang yang kita keluarkan.” Desah Pak Ginanjar sedih.
Kemudian Pak Ginanjar dan Bu Wiwi mulai membuka angsa sang penyelamat mereka itu pelan – pelan.
“Bu Rohimah dua puluh ribu, hah?, padahal kan waktu kita pergi ke acara khitanan anaknya kita kasih lima puluh ribu ya Pak? Benar – benar dia gak tahu malu.” Sungut bu Wiwi saat membuka amplop pertama. Pak Ginanjar hanya bisa menggelang kesal, amplop kedua dibuka olehnya.
“Bu Titin Cuma lima belas ribu, itu pun uangnya jelek! Padahal waktu ibunya meninggal, bapak orang yang pertama kali membantu dia dan memberinya banyak sumbangan sembako untuk acara tahlil nya?” Pak Ginanjar bertambah kesal.
“Hah, yang ini gak ada namanya pak dan isinya Cuma lima ribu.”
“Yang ini malah amplop kosong Bu!”
Begitu seterusnya pak Ginanjar dan Bu Wiwi menghitung amplopnya sampai habis. Hasilnya sangat mengecewakan mereka. Mereka tertunduk lesu.
“Sekarang bagaimana Pak, kita rugi besar. Bukannya untung malah buntung.” Sungut Bu Wiwi. Melihat kedua orang tuanya besedih, Basrul pun datang.
“Sebenarnya bapak dan ibu ini kenapa sih?”
“Srul, kita akan  jatuh miskin Srul...” Ujar Bu Wiwi dengan sedih.
Basrul terperanjat dengan perkataan ibunya, “Maksudnya? Bukankah dari dulu kita miskin ya?”
Pak Ginanjar kaget dengan perkataan anaknya itu. Begitu pun dengan Bu Wiwi.
“Kamu ini ngomong apa sih Srul?” Timpal Bu Wiwi.
“Basrul merasa kita sudah miskin dari dulu. Hanya saja Bapak dan Ibu tidak menyadarinya. Selama ini Bapak dan Ibu di manjakan oleh pujian warga yang sebetulnya boomerang bagi kita. Bapak selalu bilang pada Basrul sebagai orang terpandang? Begitu pun dengan ibu yang selalu membanggakan diri sebagai istri pak kuwu. Rumah yang kita duduki sekarang ini bukankah hanya warisan mendiang kakek? Bukan hasil kerja keras Bapak? Bukankah sawah yang kita miliki itu pun juga warisan mendiang kakek? Bukan hasil kerja keras Bapak? Basrul pun sekolah dengan beasiswa sehingga tidak selalu meminta bapak untuk membayar iuran sekolah. Basrul menyadari penghasilan Bapak tidak seberapa hanya sebagai kuwu sehingga Basrul tidak ingin merepotkan Bapak dengan biaya sekolah yang mahal.”
Pak Ginanjar tercenung dengan dengan perkataan Basrul, anak semata wayangnya yang selama ini mereka anggap anak yang keras kepala.
“Berhentilah terhanyut dengan pujian warga. Karena itu yang membuat ibu dan bapak gila untuk menjadi orang terkaya di dusun dan menghalalkan segala cara.” Lanjut Basrul.
Mereka tertunduk lesu. Mereka betul – betul terpukul dan menyadari apa kesalahan mereka. “Ibu bangga padamu, Basrul.”
Basrul tersenyum puas, “Ibu, Bapak, Basrul ingin berkata sesuatu.” Basrul kembali berkata dengan nada serius.
“Katakanlah Basrul, semua yang kau katakan itu benar.” Kata Pak Ginanjar.
“Bapak dan Ibu harus tahu, alasan Basrul tidak ingin disunat. Inilah alasannya. Ibu dan Bapak rela mengorbankan apa pun demi memuaskan warga dan mendapat sanjungan mereka. Basrul pun tahu kalau ibu telah menggadaikan sawah mendiang kakek. Sebenarnya...”
Pak Ginanjar dan Bu Wiwi saling berpandangan dan terheran – heran, menunggu apa perkataan anaknya yang akan membuat mereka kembali terpukul.
“Sebenarnya Basrul sudah disunat sejak dulu. Basrul berbohong pada ayah dan ibu!”
“Hah!!!” Pak Ginanjar dan Bu Wiwi spontan terkejut.
“Basrul ikut sunat masal dengan teman – teman waktu Basrul SD dulu. Tetapi waktu itu Basrul berbohong pada ayah dan ibu kalau Basrul tengah mengikuti liburan dengan teman – teman di puncak selama 1 minggu.”
Bu Wiwi lemas mendengar penuturan anaknya itu. Begitu pun Pak Ginanjar.
“Ayah selalu melarang Basrul mengikuti sunat masal padahal bagi Basrul hal itu bukan masalah. Khitan adalah perintah rosul dan itu tidak harus di jalankan dengan perayaan meriah. Basrul menantikan ayah dan ibu berubah untuk berhenti menjadi takabur, tapi seperti nya itu tidak mungkin. Oleh karena itu Basrul terpaksa berbohong pada ayah dan ibu kalau Basrul belum disunat. Dan beruntunglah karena mantri sunat itu mau bekerjasama dengan Basrul.” Sejenak Basrul terdiam kemudian melanjutkan perkataannya, “Semoga dengan kejadian ini ibu dan bapak bisa tersadar dari kesalahan.”
Bu Wiwi tersenyum dan menangis. Pak Ginanjar tidak bisa menutupi kalau keluar butiran air mata dari sudut matanya. Mereka memeluk Basrul. Berterimkasih pada anaknya yang telah membuat mereka tersadar. Untuk selanjutnya mungkin mereka akan berhenti menyebut Basrul sebagai anak penakut lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman CPNS Dosen 2024: Titik Akhir, Awal Baru

KEUNIKAN YANG SAYA TEMUKAN DI INGGRIS

PENGALAMAN DAN TIPS UNTUK IELTS